Benang twist merupakan benang raw silk atau benang sutera mentah yang telah dirangkap dan digintir. Benang raw silk yang akan menjadi benang twist sebelumnya melalui beberapa proses yang meliputi :
1.
Pengeringan Kokon kode C.301
Pengeringan
kokon bertujuan untuk mematikan pupa dan mengurangi kadar air pada lapisan
sutera dan pupa. Perubahan pupa menjadi ngengat ± 12 hari setelah ulat
mengokon, maka sebelum keluar menjadi ngengat, pupa harus dimatikan untuk
menghindari kerusakan kokon. Bersamaan dengan mematikan pupa juga berlangsung
pengeringan kokon yaitu menurunkan kadar air kokon.
Kokon
segar yang baru dipanen mengandung kadar air sekitar 61% - 64%, setelah
dikeringkan kadar airnya turun menjadi 6% - 12%. Dengan demikian memungkinkan
untuk menyimpan kokon dalam waktu yang lama pada kondisi suhu dan kelembaban
lingkungan yang normal. Ada berbagai cara untuk mengeringkan kokon diantaranya
adalah penjemuran, pengukusan, dan pengovenan.
2. Flossing Kokon kode C.301
Flossing
adalah proses menghilangkan cocoon
floss (serabut serat) atau lapisan luar
kokon dari permukaan kulit kokon
dengan menggunakan .floss remover yaitu
alat pembersih serabut kokon atau menggunakan kayu
yang sudah diiri - iris pinggirannya.
Lapisan luar kokon terdiri dari filamen-filamen kusut dan terputus-putus yang
menyerupai bulu, sehingga perlu dihilangkan agar tidak menghambat pada saat
pencarian ujung filamen, sehingga filamen pada kokon dapat mudah diurai saat
proses reeling (Departemen
Perindustrian, 2008:18).
3. Seleksi Kokon kode C.301
Kualitas benang tergantung pada kualitas
kokon yang dipintal. Kokon yang tidak seragam menyebabkan panjang dan tebal
benang tidak merata dan akhirnya menghasilkan benang yang kurang baik. Sama
halnya untuk warna dan bentuk kokon yang tidak seragam akan menghasilkan
filamen kokon yang terputus-putus yang akhirnya dapat menurunkan kualitas
benang (Atmosoedarjo,
dkk. 2000:170). Untuk mencegah kokon yang tidak seragam maka kokon diseleksi
sebelum dipintal.
Menurut
Atmosoedarjo, dkk (2000), kokon yang harus ditolak adalah kokon yang berisi
ulat mati, kokon berujung tipis, kokon bernoda, kokon berkulit tipis, kokon
tertimpa/tergencet, kokon berbentuk abnormal, kokon berserabut, kokon berkulit
jarang (lose shell cocoon), kokon dengan bekas frame pada kulitnya dan kokon
yang berjamur.
4. Perebusan Kokon kode C.301
Perebusan kokon bertujuan untuk
melarutkan serisin yang bersatu dengan filamen. Bagian luar filamen sutera
terbentuk dari serisin sehingga filamen yang satu dengan yang lain saling
merekat (INDAG Jabar, 2009). Maka untuk melepaskan filamen kokon yang
direkatkan oleh serisin, dengan jalan merebus kokon menggunakan air panas,
sehingga kulit kokon mengembang, menjadi lunak dan memungkinkan filamen sutera
diurai dan digulung pada haspel tanpa menjadi kusut ataupun putus
(Atmosoedarjo, dkk. 2000:180).
Proses perebusan dapat mempengaruhi pula
mutu benang sutera yang dihasilkan. Semakin banyak jumlah putus benang yang
terjadi selama proses reeling yang diakibatkan oleh proses perebusan yang
terlalu lama maupun terlalu sebentar berarti semakin rendah persentasi daya
gulung filamen, dan panjang filamen yang terbentuk akan semakin pendek (Lee,
1999).
5. Reeling Kokon kode C.301
Menurut Atmosoedarjo, dkk (2000:184) reeling
sutera adalah proses penyatuan beberapa filamen untuk dipintal menjadi benang
sutera. Setelah proses pencarian ujung
filamen, kokon dipindahkan ke
bak yang ada dimesin reeling untuk dilakukan pemintalan atau reeling. Tujuan proses ini
yaitu untuk mengurai filamen pada kokon, menyatukannya dan menggulungnya pada
haspel sehingga menjadi benang raw silk atau benang mentah.
Saat proses reeling suhu air pada
bak reeling perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi daya gulung filamen. Oleh
sebab itu, suhu air pada bak reeling diusahakan
berkisar 40o – 60o C (Budisantoso, 1992). Selain itu, saat proses reeling benang yang akan melewati
pengantar benang sebelumnya diberi twist palsu sebanyak
8 - 10 gintiran dengan maksud untuk mengurai kadar air dalam filamen dan
meningkatkan kohesi pada benang.
6. Rereeling Kokon kode C.301
Rereeling atau
penggulungan ulang adalah proses menggulung kembali filamen sutera yang telah
digulung pada penggulung kecil (hasil reeling) untuk dipindahkan ke penggulung
yang lebih besar (keliling 150 cm) yaitu dalam bentuk strengan. Dalam bentuk strengan inilah
untuk memudahkan penimbangan dan packing, atau untuk menyiapkan proses
selanjutnya. Pada umumnya ukuran baku berat sutera per gulung hasil mesin rereeling
adalah 70 gram atau 140 gram (Atmosoedarjo, dkk. 2000:197:199).
Menurut Atmosoedarjo, dkk (2000)
pembasahan reel, sebelum dan selama rereeling diperlukan untuk melunakkan dan
mengembangkan serisin sehingga memudahkan rereeling. Ada beberapa cara
pembasahan reel : (1) permeasi vakum (vacuum permeation), (2) dengan merendam
reel dalam bak perendaman dan (3) dengan membasahi dengan lap secara manual.
7.
Pencelupan Benang
Raw Silk
Pencelupan benang bertujuan untuk
melarutkan serisin yang masih terdapat pada benang raw silk, sehingga benang
tidak mudah putus saat dilakukan proses winding.
Pencelupan benang ini dilakukan apabila benang dalam bentuk gulungan masih
direkatkan serisin yang disebabkan
setelah proses rereeling benang tidak direlaksasi dengan benar, sehingga benang
yang satu dan lainnya masih saling merekat dan semakin mengeras ketika benang
mengering.
Pencelupan benang dilakukan dengan
cara mencelup-celupkan benang ke dalam air dengan suhu 50o C sampai
semua bagian benang basah, namun apabila benang yang telah dicelupkan ke dalam
air hangat masih direkatkan oleh serisin maka pencelupan harus ditambahkan olive
oil untuk memudahkan saat pemisahan benang yang satu dengan lainnya. Suhu air yang digunakan perlu
50o C karena pada suhu tersebut serisin sudah dapat larut, sedangkan
apabila suhu kurang 50o C serisin tidak larut sepenuhnya dan apabila
lebih dari itu ditakutkan benang akan pecah dan menjadi rapuh sehingga benang
akan mudah putus saat dilakukan proses winding.
8.
Winding
Winding
merupakan proses menggulung benang dari bentuk untaian benang ke bentuk bobbin. Tujuan
proses ini, yaitu untuk membuang benang-benang yang lemah dan tidak rata, juga
untuk memudahkan saat proses doubling atau perangkapan.
9.
Doubling
Doubling atau proses perangkapan
bertujuan untuk merangkap benang tunggal atau single menjadi benang multiple
atau ganda, Benang dirangkap sesuai
kebutuhan (2,3 atau 4 rangkap) dengan menggunakan
mesin doubling (Atmosoedarjo,
dkk 2000:213).
10. Twisting
Benang raw silk yang sudah di doubling
perlu di twisting, tujuannya untuk mencegah pecahnya benang saat dilakukan proses
degumming. Selain itu, juga dapat memberi daya penutup (covering capacity) yang
lebih besar, dibanding dengan benang single dengan denier yang sama. Ada dua arah twist untuk menggintir benang,
yaitu “Z” twist, untuk ke arah kiri dan “S” twist, untuk ke arah kanan
(Atmosoedarjo, 2000:210).
11. Setting
Menurut
Atmosoedarjo, dkk (2000:214) setelah digintir benang
perlu diset dengan mesin pengeset vacuum, dengan suhu 70o C selama
30 menit. Setting benang twist bertujuan
untuk mengubah snelling atau menggulungnya benang setelah proses twisting agar benang menjadi
lurus, sehingga saat
proses rewinding benang tidak mudah putus.
12. Rewinding
Benang
yang telah diset selanjutnya direwind (dipindahkan)
dari bobbin ke haspel besar untuk dijadikan benang dalam bentuk untai atau ukel.
Putus benang dalam proses ini akan
menurunkan efisiensi kerja dan meningkatkan jumlah limbah suteranya (Atmosoedarjo,
dkk 2000).
Gambar Benang Raw Silk
Gambar Benang Twist
SUMBER
Amirudin,
Theresia Mutia, Margono, Suprihartini, Tasunjaya, Atang. 2006. Balai Besar
Tekstil. Studi Pemanfaatan Kokon Cacat
sebagai Bahan Tekstil Non Sandang : 69.
Agriculture and
Consumer Protection. Silk
Reeling and Testing Manual. Chapter 5: Cocoon
Cooking. http://www.fao.org/docrep/x2099e/x2099e03.htm. [23 November 2013].
Atmosoedarjo, H. S., J. Katsubrata, M. Kaomini., W. Saleh, dan W. Moerdoko. 2000. Sutera
Alam Indonesia. Jakarta: Sarana Wana
Jaya.
Budisantoso, Harry. 1992. Pengaruh Suhu Air pada Bak Reeling terhadap Daya Gulung, Rendemen dan
Kebersihann Benang Sutera. Jurnal Penelitian Kehutanan Vol. VI. No. 2 Maret 1992.
Budisantoso, Harry. 1993. Pengaruh Sistem Perebusan kokon Terhadaap
Panjang Rendemen Dan Daya Gulung. Jurnal
Penelitian Kehutanan Vol. VII No. 3 Maret 1993.
Departemen
Perindustrian Direktorat Jenderal Industri Kecil Dan Menengah Direktorat
Industri Sandang. 2008. Acuan
Standar Benang Sutera Mentah.
Jakarta.
Dinamika
Penelitian BIPA, [Online]. Tersedia:http://palembang.bpkimi.kemenperin.go.id/publikasi-majalah/186-pengaruh-pemasakan-kokon-pada-proses-reeling-sutera-terhadap-mutu-benang-yang-dihasilkan-.html. [29
Januari 2013].
Guntoro, S. 1994.
Budidaya Ulat Sutera. Yogyakarta: Kanisius.
Hamali, 2010. Pengaruh
Sistem Perebusan Kokon Ulat Sutera Kode C.301 Terhadap Rendemen Pemintalan Dan
Daya Gulung Serat Sutera.
Jember.
INDAG
Jabar (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat), 2009. Pelatihan ATBM Sutera. Cianjur.
Lee, Y. 1999. Silk Rearing and Testing Manual. Bul FAO Agriculture Service: 136.
Pengeringan dan Penyimpanan Kokon. Artikel. [Online]. Tersedia: http://www.agrisilk.com/Budidaya/ulat-sutera/Pengeringan-dan-penyimpanan-kokon.html. [21 Desember 2012].
Sulam, Abdul
Latief. 2008. Teknik Pembuatan Benang dan
Pembuatan Kain Jilid 1.Jakarta :Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah
Kejuruan, Direktorat Jenderal ManajemenPendidikan Dasar dan Menengah,
Departemen Pendidikan Nasional.
STISITelkom.
[Online]. Tersedia: www.stisitelkom.ac.id
No comments:
Post a Comment