Definisi
Pupuk dan Pemupukan
Menurut Marsono dan Paulus Sigit (2001) bagi
tanaman, pupuk sama seperti makanan pada manusia. Oleh tanaman, pupuk digunakan
untuk hidup, tumbuh dan berkembang. Jika dalam makanan manusia dikenal ada
istilah gizi maka dalam pupuk dikenal dengan nama zat atau unsur hara. Pupuk adalah material yang ditambahkan pada media tanam atau tanaman untuk
mencukupi kebutuhan hara yang diperlukan sehingga tanaman mampu berproduksi dengan baik.
Material pupuk dapat berupa bahan organik ataupun anorganik. Sedangkan pemupukan
adalah menambahkan material dalam hal ini unsur hara yang dibutuhkan tanaman.
Definisi
Tanah
Tanah adalah bagian permukaan bumi yang terdiri dari mineral dan bahan organik. Tanah sangat penting
peranannya bagi semua kehidupan di bumi, karena tanah mampu mendukung kehidupan
tumbuhan di mana tumbuhan
menyediakan makanan dan oksigen kemudian menyerap karbon dioksida dan nitrogen. Bagi pertanian tanah merupakan asas yang sangat
penting dalam menjalankan penanaman berbagai tanaman, seperti tanaman pangan,
tanaman industri dan sebagainya. Menurut Kemas Ali Hanafiah (2005:4), tanah
pada masa kini sebagai media tumbuh tanaman didefinisikan sebagai :
“Lapisan permukaan bumi yang secara fisik
berfungsi sebagai tempat tumbuh-berkembangnya perakaran penopang tegak
tumbuhnya tanaman dan penyuplai kebutuhan air dan udara; secara kimiawi
berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi (senyawa organik dan
anorganik sederhana dan unsur-unsur esensial seperti N, P, K, Ca, Mg, S, Cu,
Zn, Fe, Mn, B, Cl dan lain-lain); dan secara biologis berfungsi sebagai habitat
biota (organisme) yang berpartisipasiaktif dalam penyediaan hara tersebut dan
zat-zat aditif (pemacu tumbuh, proteksi) bagi tanaman”, yang ketiganya secara
integral mampu menunjang produktivitas tanaman untuk menghasilkan biomass dan
produksi baik tanaman pangan, obat-obatan, industri perkebunan, maupun
kehutanan”.
Pemupukan
dan Kondisi Tanah
Pemupukan
mempunyai maksud mencapai kondisi dimana tanah memungkinkan tanaman untuk tumbuh
dengan optimal. Pertumbuhan tanaman tidak saja tergantung dari ketersediaan
berbagai unsur hara dalam jumlah yang cukup, tetapi juga dari persyaratan lain
seperti struktur tanah dan kondisi derajat keasaman tanah atau pH tanah. Pemupukan ikut mempengaruhi keadaan itu. Keadaan tanah yang baik akan
memudahkan tanaman menyerap unsur hara yang ada didalam tanah melalui
pertumbuhan akarnya yang lebih kuat, dibanding jika pertumbuhannya kurang baik.
Dalam hal ini maka pemupukan dengan sendirinya akan memberikan hasil yang
lebih baik.
Pemupukan dan Struktur Tanah
Menurut Kemas Ali Hanafiah
(2005:69), struktur tanah merupakan kenampakan bentuk atau susunan
partikel-partikel primer tanah (pasir, debu dan liat individual) hingga
partikel-partikel sekunder (hubungan partikel-partikel primer yang disebut ped
(gumpalan) yang membentuk agregat). De Boodt (1978) menyatakan bahwa struktur tanah
berpengaruh terhadap gerakan air, gerakan udara, suhu tanah dan hambatan
mekanik perkecambahan biji, serta penetrasi akar tanaman. Oleh
sebab itu, tanah yang berstruktur baik akan mempunyai kondisi drainase dan
aerasi yang baik pula, sehingga akan memudahkan sistem perakaran tanaman untuk
berpenetrasi dan mengabsopsi hara dan air, sehingga pertumbuhan dan produksi
menjadi lebih baik. Hal ini terbukti dari percobaan pemupukan untuk tanaman
jagung, bahwa produksi jagung pada tanah tanpa pupuk tetapi beragregat baik
ternyata 2,3 kali lebih besar dibandingkan dengan produksi pada tanah
beragregat buruk yang diberi pupuk. Pada tanah yang
digunakan untuk bercocok tanam, penaburan pupuk fosfat pada musim semi dapat
mengakibatkan struktur tanah menjadi
rusak karena fosfat di dalam tanah kurang bergerak, sehingga pemupukan menjadi
kurang efektif.
Kerusakan struktur tanah diawali dengan penurunan kestabilan agregat
tanah sebagai akibat dari pukulan air hujan dan kekuatan limpasan permukaan.
Penurunan kestabilan agregat tanah berkaitan dengan penurunan kandungan bahan
organik tanah, aktivitas perakaran dan mikroorganisme tanah. Penurunan ketiga
agen pengikat tanah tersebut, selain menyebabkan agregat tanah relatif mudah
pecah juga menyebabkan terbentuknya kerak di permukaan tanah (soil
crusting) yang mempunyai sifat padat dan keras bila kering. Pada saat
hujan turun, kerak yang terbentuk di permukaan tanah juga menyebabkan
penyumbatan pori tanah. Akibat proses penyumbatan pori tanah ini, porositas
tanah, distribusi
pori tanah, dan kemampuan tanah untuk mengalirkan air mengalami penurunan dan
limpasan permukaan akan meningkat (Suprayogo et al., 2001).
Firmansyah (2003) menyatakan bahwa
penggunaan gambut terhumifikasi
rendah dengan BD 0,10 Mg m-3 memilki pengaruh lebih besar daripada
gambut terhumifikasi tinggi dengan BD 0,29 Mg m-3 dalam menurunkan
kompaktibilitas tanah. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa bahan organik lebih efektif
untuk tanah dengan kompaktilitas tinggi, ketahanan penetrsai maksimum tanah
liat menurun dari 0,64 menjadi 0,30 Mpa, dan pada tanah berpasir meningkat dari
0,64 menjadi 1,08 Mpa.
Pemberian bahan tersebut dapat memperbaiki
sifat fisik tanah berupa peningkatan total ruang pori, perbaikan aerasi tanah,
pori air tersedia, permeabilitas tanah dan menurunnya ketahanan penetrasi.
Pemberian dosis 20 Mg/ha dapat meningkatkan aerasi diatas 12%, sedangkan pada
takaran 10 Mg/ha dapat memperbaiki ketahanan penetrasi (Firmansyah, 2003).
Pemupukan dan Derajat Keasaman Tanaman
Keasaman atau pH (Potential of hidrogen) adalah nilai
pada skala 0-14 yang mengambarkan jumlah relatif ion H+ terdapat ion
OH- didalam larutan tanah. Larutan tanah disebut bereaksi asam jika
nilai pH berada pada kisaran 0-6, artinya larutan tanah mengandung ion H+
lebih besar daripada ion OH- sebaliknya jika jumlah ion H+
dalam lautan tanah lebih kecil daripada ion OH- larutan tanah disebut
bereaksi basa (alkali) atau miliki pH 8-14. Tanah bersifat asam karena
berkurangnya kation kalsium, Magnesium, Kalium dan Natrium. Unsur-unsur
tersebut terbawa oleh aliran air kelapisan tanah yang lebih bawah atau hilang
diserap oleh tanaman (Hendra, 2008).
Keasaman atau kebasaan tanah bersumber dari sejumlah senyawa. Air adalah
sumber kecil ion H karena disosiasi molekul H2O lemah. Sumber – sumber besar
adalah asam – asam organik dan anorganik. Proses yang menghasilkan ion H+
adalah respirasi akar dan jasad penghuni tanah, perombakan bahan organik,
pelarutan CO2 udara dalam lengas tanah, hidrolisis Al, nitrifikasi, oksidasi
N2, oksidasi S, dan pelarutan, serta penguraian pupuk kimia. Sedangkan sumber –
sumber kebasaan adalah garam–garam basa, amonifikasi, dan hasil batuan basa,
ultrabasa.
Reaksi tanah mempengaruhi dekomposisi bahan organik melalui pengaruhnya
terhadap ketersediaan hara-hara yang dibutuhkan mikrobia. Umumnya mikrobia
berkembang dan aktif pada pH netral – alkalis (6,5 – 8,5) (Parr, 1978 dalam Kemas
Ali, 2005:178), sedangkan proses mineralisasi dan nitrifikasi optimum pada pH
sekitar 7,0 (Brady, 1984 dalam Kemas
Ali, 2005:178). Menurut Kussow (1971), mikrobia ammonifikasi tidak begitu
sensitif terhadap perubahan pH, sedangkan mikrobia nitrifikasi aktif pada pH
5-8. Pada pH dibawah 5, ammonium lebih banyak terakumulasi dalam tanah,
sedangkan pada pH 7 ke atas terjadi reduksi menjadi gas ammoniak.
Menurut Kemas
Ali Hanafiah (2005:178:179), pada pH tanah 5,5 – 7,5 bakteri berkembang lebih
baik, sedangkan pada pH diatas 7 aktinomisetes yang lebih berkembang. Fungi
kurang sensitif terhadap pH, dapat berkembang baik pada pH 3,5 – 5,5 dan diatas
7,5.
Menurut Kemas
Ali Hanafiah (2005:159), untuk penanaman pada tanah yang pHnya tidak sesuai
perlu dilakukan perbaikan pH untuk mencapai pH ideal. Pada tanah alkalin,
penurunan pH dapat dilakukan dengan penambatan sulfur atau bahan bersulfur,
agar sulfur yang dilapas membentuk asam sulfur pemasaman tanah, sedangkan pada
tanah peningkatan pH dan sekaligus peningkatan kejenuhan basa dapat dilakukan
dengan pengapuran. Kapur karbonat atau kalsit (CaCO3) (dipasar
dukenal dengan ”Kaptan”), jika terhidrolisis akan menghasilkan iom hidroksil
penaik pH dan kation Ca peningkat kejenuhan basa.
Secara umum
pengapuran tanah itu sendiri betujuan untuk meningkatkan pH tanah dan kejenuhan
basa, agar ketersediaan hara bagi tanaman meningkat dan potensi toksik dari
unsur mikro (seperti Al) menjadi tertekan. sehingga, dengan membaiknya sifat
kimiawi tanah, maka aktivitas mikrobia dalam penyediaan hara dan zat perangsang
tumbuh juga membaik, sehingga secara akumulatif akan menghasilkan pertumbuhan
dan produksi tanaman yang optimum (Kemas Ali, 2005:159:160).
Pemupukan dan Potensi Pengikat
Tanah terhadap Unsur Hara Tanaman
Pemberian bahan organik, seperti pupuk kandang dan
pupuk hijau pada tanah dapat meningkatkan ketersediaan P dan unsur lainnya. Hal
tersebut terjadi karena saat dekomposisi bahan organik terjadi proses
mineralisasi dari bahan organik yang mudah terurai, sehingga akan menyumbangkan
sejumlah ion-ion hara tersedia. Selama proses dekomposisi, sejumlah hara
tersedia akan diakumulasikan ke dalam sel-sel mikrobia, yang apabila mikrobia
ini mati mudah dimineralisasikan kembali, sehingga menghindarkan ion-ion hara
ini dari pelindian oleh aliran massa. Selain itu, senyawa sisa mineralisasi dan
senyawa sulit terurai melalui proses humifikasi akan menghasilkan humus tanah
yang terutama berperan secara koloidal. Koloidal organik ini melalui muatan
listriknya dapat meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah 30 kali lebih besar ketimbang koloidal anorganik, sehingga
menyebabkan ketersediaan basa-basa meningkat, dan melalui kemampuannya
mencengkam koloid/mineral oksida bermuatan positif dan kation-kation terutama
Al dan Fe yang reaktif, menyebabkan fiksasi P tanah menjadi ternetralisir.
Serta adanya asam-asam organik hasil dekomposisi bahan organik yang mampu
melarutkan P dan unsur lainnya dari pengikatnya, menghasilkan ketersediaan dan
efisiensi pemupukan P dan hara lainnya (Stevenson, 1982 dalam Kemas Ali, 2005:180:181).
Pengaruh bahan
organik terhadap tanah dan kemudian terhadap tanaman tergantung pada laju
proses dekomposisinya. Namun, laju dekomposisi dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu faktor bahan organik dan faktor tanah. Faktor bahan organik meliputi
komposisi kimiawi, perbandinga C/N, kadar lignin dan ukuran bahan, sedangkan
faktor tanah meliputi temperatur, kelembaban, tekstur, struktur, suplai oksigen
dan reaksi tanah, ketersediaan hara terutama N, P, K dan S (Parr, 1978 dalam Kemas Ali, 2005:176).
Jumlah bahan
organik di dalam tanah dapat berkurang hingga 35% untuk tanah yang ditanami
secara terus menerus dibandingkan dengan tanah yang belum ditanami atau belum
dijamah. Untuk mempertahankan kandungan bahan organik tanah agar tidak menurun,
diperlukan minimal 8 – 9 ton per ha bahan organik tiap tahunnya (Suryani,
2007).
Pada tanah
berKB (kejenuhan basa) tinggi dan didominasi oleh koloid bermuatan permanen,
pengapuran secara kimiawi akan meningkatkan pH dan kadar cadd, sedangkan secara biologis akan meningkatkan fiksasi N-bebas
baik secara simbiotik maupun nonsimbiotik dan aktivitas mikroiologis lainnya. Namun,
apabila pengapuran dilakukan secara berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif
berupa penurunan ketersediaan Zn dan Mn, serta meningkatkan kelarutan Mo hingga
ke tingkat toksik. Sedangkan pada tanah berKB rendah dan didominasi koloid
bermuatan tak permanen, pengaruh positif pengapuran berupa peningkatan
ketersediaan P, Cadd (kalsium dapat dipertukarkan), Mgdd (magnesium
dapat dipertukarkan) dan aktivitas mikrobiologis, serta menonaktifkan Al dan Mn
sehingga potensi toksisitasnya ternetralisasi. Namun apabila berlebihan,
pengapuran dapat berdampak pada penurunan ketersediaan Zn, Mn, Cu dan B yang
dapat menyebabkan tanaman menjadi defisiensi keempat unsur ini, serta dapat
mengalami keracunan Mo (Kemas Ali, 2005:160:161).
Menurut Kemas
Ali Hanafiah (2005:150), makin tinggi nilai KTA berarti makin tinggi daya
fiksasi tanah terhadap anion, sehingga pemberian pupuk pelepasan anion seperti
TSP (H2PO4-), amonium nitrat (NO3-)
dan amonium sulfat (SO42-), makin tidak efisien karena
makin tidak tersedia bagi tanaman. Akibat lainnya, dengan makin tingginya nilai
KTA daya tolak terhadap kation-kation juga makin tinggi, pemupukan pupuk
pelepas kation seperti KCL (K+), kalsit (Ca2+) dan
dolomit (Ca2+ dan Mg2+) juga makin tidak efisien karena
mudah tercuci/hilang dari tanah. Pemupukan fosfat (TSP) pada tanah berliat
oksida menyebabkan sebagian besar hara-pupuk menjadi tidak tersedia bagi
tanaman.
Kation-kation yang berbeda dapat mempunyai kemampuan yang berbeda untuk
menukar kation yang dijerap. Jumlah yang dijerap sering tidak setara dengan
yang ditukarkan. Ion-ion divalen biasanya diikat lebih kuat daripada ion-ion
monovalen, sehingga akan lebih sulit dipertukarkan. Besar kecilnya Kapasitas
Tukar Kation (KTK) tanah dipengaruhi oleh reaksi tanah, tekstur atau jumlah
liat, jenis mineral liat, bahan organik, pengapuran serta pemupukan (Tan,
1991).
Menurut Sudirman et al. (1986) bahwa hilangnya lapisan atas
tanah dapat menyebabkan rendahnya kadar bahan organik, meningkatnya pemadatan
tanah, menurunnya stabilitas agregat tanah, meningkatnya kejenuhan alumunium
serta menurunnya KTK tanah.
DAFTAR
PUSTAKA
Hanafiah
Kemas Ali, 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah.
PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.