Thursday, December 31, 2015

Manajemen Pemeriksaan Penyakit di PPUS Candiroto

Manajemen merupakan proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan yang dilakukan untuk menetapkan dan mencapai tujuan dengan menggunakan sumber daya yang ada dalam organisasi. Pemeriksaan penyakit merupakan tahapan kegiatan dalam produksi telur ulat sutera di PPUS Candiroto yang berfungsi untuk mendeteksi penyakit yang ada pada sarana produksi telur, ulat, pupa terutama induk ngengat, sehingga dapat mencegah penyebaran penyakit terutama penyakit yang menurun dari induk ngengat ke telur. Oleh sebab itu, pemeriksaan penyakit berhubungan erat dengan kuantitas dan kualitas telur yang dapat dihasilkan dalam setiap produksi telur ulat sutera, sehingga pelaksanaan yang baik dan tepat untuk manajemen dalam pemeriksaan penyakit sangatlah penting. Adapun pelaksanaan manajemen pemeriksaan penyakit di PPUS Candiroto Jawa Tengah, yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan adalah sebagai berikut.

1. Perencanaan Pemeriksaan Penyakit
Perencanaan pemeriksaan penyakit di PPUS Candiroto untuk produksi telur pada bulan Februari sampai Maret dengan pemeliharaan ulat sutera sebanyak 7 bok telur yang dibagi menjadi 2 kali pemeliharaan, dengan kebutuhan daun murbei 9,8 ton dengan luas kebun 6 hektar menghasilkan 29.220 induk ngengat F1 untuk diperiksa. Pemeriksaan dilakukan setiap setelah peneluran ngengat, setelah peneluran maka induk ngengat akan diserahkan ke bagian laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan penyakit. Pemeriksaan yang dilakukan pada induk ngengat F1 hanya pemeriksaan untuk penyakit pebrine, sedangkan khusus untuk foundation dan breeding diperiksa secara keseluruhan, yaitu untuk penyakit yang disebabkan oleh cendawan atau jamur, virus, bakteri dan protozoa (Pebrine).
Pebrine merupakan penyakit yang disebabkan oleh protozoa yang disebut Nosema bombycis (Setiawati, 2012). Menurut Andadari (2013), nosema berkembangbiak dengan spora dan juga membelah diri. Sporoplasma berkembang biak dengan membelah diri, dari haemolympha melalui ruang-ruang antara sel yang tersebar diseluruh tubuh, tinggal di situ terutama bagian tubuh yang berlemak dan jaringan-jaringan otot. Tiap-tiap belahan mengandung 1 inti dan kemudian membentuk spora. Dalam dua minggu setelah terjadi infeksi pebrine, bagian tubuh dari ulat telah penuh dengan spora yang telah masak. Penyakit ini sangat berbahaya terutama dalam kegiatan produksi telur ulat sutera, karena penyakit ini dapat diturunkan dari induk ngengat ke telurnya, yaitu patogen Nosema bombycis yang hidup di dalam ovari ngengat betina dan penyakit ini akan pindah ke dalam telur untuk menyerang ulat pada generasi berikutnya (Atmosoedarjo, dkk., 2000). Selain itu, juga dapat ditularkan melalui mulut akibat memakan daun murbei yang terdapat patogen tersebut, ruangan dan alat-alat pemeliharaan ataupun ulat yang terkena infeksi dipelihara bersama-sama dengan ulat yang sehat (Setiawati, 2012). Oleh sebab itu, pemeriksaan penyakit perlu dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit ini..
Pemeriksaan penyakit yang dilakukan adalah untuk induk ngengat F1. Saat pemeriksaan penakit tenaga kerja yang dibutuhkan sebanyak 2 orang tenaga kerja wanita dan 2 orang tenaga kerja pria, serta sarana untuk pemeriksaan, yang meliputi 1 bangunan laboratorium untuk ruang pemeriksaan penyakit, 1 unit Moth crusher untuk alat penggerus ngengat dengan 20 ngengat dalam sekali penggerusan, 13 buah mortar desk untuk menampung ngengat yang akan digerus dengan setiap mortar desk berisi 20 ngengat, 30 buah liquid plate untuk menyimpan kaca objek, 120 buah kaca objek untuk menampung preparat dari ngengat yang sudah digerus dengan masing-masing liquid plate berisi 4 buah kaca objek, 29.220 buah deglass untuk menutupi preparat agar tidak bercampur dengan preparat yang lain dan memudahkan saat pemeriksaan, 1 buah gunting untuk menggunting plastik yang berisi ngengat, 2 buah pinset untuk menjepit ngengat dan 1 unit mikroskop untuk memeriksa penyakit pada induk ngengat, juga dibutuhkan lap pel, lap, waskom, kemoceng, sapu dan hand sprayer untuk desinfeksi ruangan.
Bahan yang dibutuhkan untuk pemeriksaan penyakit, yaitu KOH berfungsi untuk melarutkan jaringan pada ngengat, sehingga mempermudah melihat penyakit saat pemeriksaan, formalin 42 % untuk desinfeksi ruangan, alkohol, sabun dan kapas untuk sterilisasi alat. Selain itu, hal-hal yang dibutuhkan untuk menjaga kesehatan dan keselamatan pekerjaa saat pemeriksaan penyakit, yaitu sarung tangan karet, masker, sandal dan pakaian laboratorium.

2. Pengorganisasian Pemeriksaan Penyakit
Pengorganisasian untuk pemeriksaan penyakit sendiri terdiri dari 4 orang, diantaranya pemeriksa penyakit yang bertugas memeriksa penyakit pada induk ngengat, menulis pada kartu pebrine apabila induk ngengat terkena penyakit dan menyerahkan kartu pebrine ke bagian treatment, penggerus induk ngengat bertugas menggerus ngengat pada alat Moth crusher dan memberi deglass pada kaca objek yang berisi preparat, pensterilisasi alat dan desinfeksi ruangan bertugas untuk mensterilkan alat sebelum dan setelah pemeriksaan juga melakukan desinfeksi ruangan setiap setelah pemeriksaan, serta penerima induk ngengat dari bagian peneluran yang bertugas untuk menerima induk ngengat dari bagian peneluran, juga melakukan persiapan sebelum penggerusan induk ngengat yang meliputi pemberian KOH 4% pada mortar desk, memasukkan ngengat ke dalam mortar desk dan penyerahan mortar desk yang berisi ngengat ke bagian penggerus dan melakukan penyerahan kartu pebrine yang berisi data induk ngengat yang terkena pebrine ke bagian treatment. Namun, pengoganisasian untuk pemeriksaan penyakit tidak sesuai dengan pengorganisasian yang disebutkan diatas, karena tenaga kerja yang ada tidak hanya khusus bekerja saat pemeriksaan penyakit, namun semua kegiatan yang ada di PPUS Candiroto dilakukan bersama, sehingga pembagian kerja untuk setiap tenaga kerja kurang diterapkan dengan baik.

3. Pelaksanaan Pemeriksaan Penyakit
Pelaksanaan saat pemeriksaan penyakit, yaitu melakukan pemeriksaan semua sarana produksi telur ulat sutera yang sudah didesinfeksi sebelum dipergunakan agar sarana tersebut terbebas dari penyakit. Apabila setelah pemeriksaan, sarana tersebut positif terkena penyakit maka perlu dilakukan desinfeksi kembali menggunakan kaporit 5% dan fumigasi menggunakan formalin 5%. Melakukan pemeriksaan penyakit pada induk ngengat, adapun tahapan sebelum dilakukan pemeriksaan, diantaranya mensterikan alat-alat sebelum dipakai seperti ; Moth crusher, mortar desk, liquid plate, kaca objek, gunting, pinset dan mikroskop.
Menerima induk ngengat dari bagian peneluran yang sudah dilengkapi dengan data, seperti jenis ulat, tanggal peneluran dan jumlah induk ngengat. Selanjutnya induk ngengat dimasukkan ke dalam lubang mortar desk, yang sebelumnya sudah diisi larutan KOH 4 %. Induk ngengat yang sudah dimasukkan ke dalam mortar desk, kemudian digerus menggunakan moth crusher untuk mendapatkan preparat dan liquid plate yang sudah dilengkapi kaca objek dimasukkan ke moth crusher untuk menampung preparat. Preparat tersebut diberi deglas agar tidak menyatu antar preparat yang satu dengan yang lain, serta memudahkan dalam pemeriksaan, setelah itu diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 600 kali. Tanda kontaminasi pebrine adalah bentuknya bulat memanjang seperti butiran beras dan berwarna hijau pada bagian tengahnya, apabila pada satu deglas terdapat 3 kontaminasi pebrine maka induk ngengat dinyatakan terkena pebrine dan diberi tanda (+) pada kartu pebrin dan (-) untuk yang terbebas dari pebrine. Hal tersebut berlaku untuk mortar desk yang berisi 20 induk ngengat atau per lubang berisi satu ngengat, sedangkan untuk mortar desk berisi 80 induk ngengat apabila terdapat 5 deglas yang terkena pebrine, maka telur dari 80 induk ngengat yang ada pada kertas peneluran harus dimusnakan semua. Selanjutnya kartu pebrine diberikan ke bagian treatment, agar telur yang terkena pebrin dapat diambil dan dimusnahkan.
Setelah dilakukan pemeriksaan dan mendapatkan data induk ngengat yang terkena pebrine, yaitu sebanyak 326 induk maka dilakukan perhitungan jumlah induk terkena pebrine (326) dibagi jumlah induk yang diperiksa (29.220) dikalikan 100 %, sehingga didapatkan hasil persentase induk ngengat yang terkena pebrine 1,11 % dari 29.220 induk yang diperiksa atau sama dengan 28.894 induk yang terbebas dari pebrine. Maka dengan begitu dari 28.894 induk tersebut dapat menghasilkan 361 boks telur dengan masing-masing boks telur berisi 25.000 butir telur yang berasal 80 induk ngengat, dengan harga per boks telur Rp 110.000.
Setiap setelah pemeriksaan penyakit, maka ruangan dan alat-alat yang digunakan segera didesinfeksi. Ruang pemeriksaan disapu, dipel dan selanjutnya disemprot menggunakan larutan formalin 6% atau 1 liter formalin dengan 6 liter air. Sedangkan untuk alat-alat seperti mortar desk dan moth crusher  dibersihkan menggunakan air dan dilap menggunakan kapas yang sudah diberi alkohol 70% sama halnya untuk liquid plate dan mikroskop. Khusus untuk kaca objek direndam didalam formalin, dicuci menggunakan sabun, dibilas air, dikeringkan dan dilap menggunakan kapas yang sudah diberi alkohol 70%.

4. Pengawasan Pemeriksaan Penyakit
Pengawasan dilakukan agar tidak terjadi penyimpangan atau kesalahan, sehingga dapat diantisipasi dan dikoreksi, seperti yang terjadi ketika pemeriksaan penyakit pada induk ngengat yang seharusnya dilakukan di laboratorium yang steril, namun pemeriksaan yang dilakukan adalah di ruang pemeliharaan ulat besar yang tidak steril, sehingga ketika pemeriksaan penyakit banyak induk yang terkena pebrine, karena alat dan ruangan yang tidak steril sehingga mengakibatkan kontaminasi pada objek yang diperiksa. Apabila hal tersebut terus terulang maka induk ngengat yang seharusnya terbebas dari pebrine menjadi  terkena pebrine, sehingga mengurangi kuantitas telur yang dihasilkan saat produksi dan mengurangi keuntungan yang dihasilkan. Oleh sebab itu, pengawasan sangatlah penting terutama ketika pemeriksaan penyakit. Pengawasan ketika pemeriksaan dan setelah pemeriksaan penyakit dilakukan oleh Badan Persuteraan Alam (BPA) dari Sulawesi setiap 2 bulan sekali, namun hal tersebut sekarang sudah tidak dilakukan lagi. Selain itu, perlu dilakukan juga pengawasan ketika dan setelah pemeliharaan ulat sutera, diantaranya dengan pemeriksaan pendahuluan pada sarana yang akan digunakan dalam produksi telur, melakukan monitoring kesehatan ulat, serta melakukan seleksi kokon, pupa dan ngengat agar penyakit tidak menyebar dan telur yang dihasilkan berkualitas.

Sumber:
Andadari, L., S. Pudjiono, Suwandi, dan T. Rahmawati. 2013. Budidaya Murbei dan Ulat Sutera. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan.
Atmosoedarjo, H. S., J. Katsubrata, M. Kaomini., W. Saleh, dan W. Moerdoko. 2000. Sutera Alam Indonesia. Jakarta: Sarana Wana Jaya.
Setiawati, Linda. 2012. Praktik Kerja Lapang Di Pusat Pembibitan Ulat Sutera Candiroto Temanggung. Laporan Praktik. Universitas Negeri Semarang.

PUSAT PEMBIBITAN ULAT SUTERA CANDIROTO JAWA TENGAH

1. Sejarah PPUS Candiroto
Pusat Pembibitan Ulat Sutera (PPUS) Candiroto merupakan salah satu produsen bibit ulat sutera (telur ulat sutera) milik pemerintah dibawah naungan Perum Perhutani. PPUS Candiroto didirikan pada tahun 1974 dan diresmikan pada tanggal 27 Mei 1975 oleh Dirjen Kehutanan yang pada waktu dipimpin oleh Dr Soedjarwo. Pendirian PPUS Candiroto adalah untuk memperoleh bibit ulat yang memiliki sifat unggul sehingga dapat mencapai tingkatan swasembada bibit ulat sutera yang berkualitas dalam rangka menunjang pengembangan persuteraan alaman nasional. Untuk menjamin ketersediaan bibit ulat sutera yang kualitas dan kuantitasnya dalam memenuhi permintaan pasar sehingga dapat meningkatkan produksi kokon, diterbitkanlah Surat Keputusan Direksi Nomor 932/ Kpts/ 1988 tanggal 10 Oktober 1988 tentang pengembangan PPUS Candiroto di KPH Kedu Utara dengan tujuan :
1.    Mengusahakan Unit Persuteraan Alam untuk memenuhi kebutuhan industri sutera alam dengan penyediaan bibit ulat sutera F1 unggulan yang berkualitas dan mencukupi kebutuhan nasional.
2.    Menambah pendapatan Perum Perhutani.
3.    Menambah kesejahteraan masyarakat berupa lapangan kerja dan sumber pendapatan.
4.    Menunjang pengembangan persuteraan alam secara nasional.      
Dengan berjalannnya waktu dan perkembangan di Perum Pehutani, maka pada tahun 2006 PPUS Candiroto Peberada dibawah naungan KBM Industri Non Kayu Perum Pehutani Unit 1 Jawa Tengah. Kemudian pada tahun 2009 berada dibawah naungan KBM AEJ Perum Pehutani Unit 1 Jawa Tengah dan pada tahun 2014 PPUS Candiroto berada dibawah naungan Kesatuan Bisnis Mandiri Agribisnis I Devisi Agribisnis dan Wisata, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah.

2. Struktur Organisasi PPUS Candiroto  
Struktur organisasi di PPUS Candiroto sendiri dikepalai oleh seorang Asisten Manager yang membawahi dua orang kepala bagian setingkat yaitu kaur produksi dan kaur kebun. Kaur dibantu oleh 7 koordinator bidang, yaitu breeding, produksi kokon bibit, peneluran, treatment dan laboratorium. Tugas-tugas administrasi dilaksanakan oleh bagian tata usaha yang dikepalai seorang tata usaha, untuk bagan struktur organisasi dan struktur kerja PPUS Candiroto dapat dilihat pada gambar dibawah.


Gambar Struktur Organisasi PPUS Cnadiroto

              
3. Visi dan Misi PPUS Candiroto
          PPUS Candiroto merupakan salah satu organisasi yang bergerak dalam bidang persuteraan alam khususnya penyediaan bibit telur ulat sutera yang berada dibawah naungan KPH Kedu Utara Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah. Visi dan Misi PPUS Candiroto yaitu :
1.      Visi
Membangun budaya yang produktif dan profesional. Regaloh industry non kayu sebagai bisnis hasil hutan non kayu secara profesional dan berkualitas untuk meningkatkan nilai tambah hutan non kayu.
2.      Misi
a   Mengelola bisnis secara profesional demi kepuasan dan harapan pengelola.

b Meningkatkan dan optimalkan aset perusahaan sebagai sumber daya produksi secara berkelanjut          demi berlangsungnya usaha.

4. Kondisi Lingkungan
1. Letak  Geografis PPUS Candiroto
Secara geografis PPUS Candiroto terletak pada ketinggian 575 – 600 meter diatas permukaan laut. Temperatur didaerah ini berkisar antara 25o C - 26o C dengan kelembaban udara 80 % - 90 %. PPUS Candiroto terletak di Desa Bejen kecamatan Bejen Kabupaten Temanggung Km. 37 Jurusan Temanggung – Weleri, Jawa Tengah. Pusat Pembibitan Ulat Sutera (PPUS) Candoroto sampai sekarang telah melayani konsumen bibit telur ulat sutera antara lain: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Sulawesi.
2. Sarana dan Prasarana
Ketersediaan bibit ulat sutera baik kualitas maupun kuantitasnya membutuhkan sarana dan prasarana yang mendukung untuk produksi telur atau untuk kegiatan lainnya. Adapun sarana dan prasarana yang dimiliki Pusat Pembibitan Ulat Sutera (PPUS) Candiroto yang menunjang seluruh kegiatan yang ada berupa bangunan kerja, bangunan kantor, laboratorium, dan kebun.
Sarana dan prasarana yang terdapat di PPUS Candiroto antara lain :
1)   Ruangan pemeliharaan ulat sutera dengan kapasitas s/d 300 box intake/tahun.
2)    DCS (Dry Cold Stronge) untuk kepentingan penyimpanan telur dan inkubasi dengan kapasitas 50.000 box/tahun dengan tingkatan temperatur 2,5º C; 5º C; 7,5º C; 15º C dan 25º C.
3)   Sarana dan prasarana peneluran dan treatment telur ulat sutera dengan kapasitas yang memadai.
4)   Sarana dan prasarana pemeriksaan penyakit (tes pebrine), yaitu laboratorium, moth crusher, mikroskop, oven listrik dan oven gas
5)   Sarana untuk pengecekan kualitas kokon dan barang yang berupa timbangan digital dan single cocoon reeling tool.
6)   Kebun murbei dengan beberapa varietas murbei yang ditanam, diantaranya Morus alba, Morus multicaulis, Morus Cathayana, Morus Sp Var Kanva dan Morus Sp Var SHA2 x lun 109.

Friday, January 2, 2015

Kekuatan dan Kemuluran Benang Sutera

Kekuatan Benang Sutera
Kekuatan benang sutera atau disebut tenacity merupakan kemampuan benang untuk menahan beban tarik, yang dinyatakan dalam satuan gram/denier. Benang sutera harus memiliki kekuatan yang memadai, hal ini disebabkan saat proses pemintalan, pertenunan, pencelupan maupun pemakaian, benang mengalami beban-beban yang umumnya berupa beban tarik (Noerati, Gunawan, Ichwan dan sumihartati, 2013:5). 

Kekuatan benang dipengaruhi oleh sifat-sifat bahan baku yang digunakan dalam pembuatan benang sutera, yaitu kokon ulat sutera. Sifat-sifat bahan baku meliputi panjang, kerataan panjang, kekuatan dan kehalusan filamen sutera. Semakin panjang, rata, kuat dan halus filamen, maka semakin kuat benang yang dihasilkan. Selain itu, dipengaruhi juga oleh konstruksi benang. Konstruksi benang dipengaruhi oleh jumlah gintiran yang diberikan pada benang (Sulam, 2008:17). Penambahan jumlah gintiran pada benang akan meningkatkan kekuatan tarik benang (Noerati, dkk. 2013:47).

Kemuluran Benang Sutera
Kemuluran benang sutera merupakan kemampuan benang bertambah panjang ketika ada beban tarik yang dialami benang tersebut sebelum putus. Kemuluran benang dinyatakan dalam kemuluran saat putus dengan satuan % yang menunjukkan pertambahan panjang sebelum putus dibandingkan panjang awal. Sifat kemuluran ini sangat berguna, mengingat banyak sekali beban tarik yang dialami benang saat pemintalan, pertenunan sampai proses penyempurnaan (Noerati, dkk. 2013:5). 

Kemuluran benang dipengaruhi oleh kemampuan mulur filamen sutera yang digunakan dan konstruksi dari benang sutera, sedangkan konstruksi benang dipengaruhi oleh jumlah twist yang diberikan pada benang (Sulam, 2008:18). Noerati, dkk. (2013:47) menyatakan bahwa twist yang tinggi akan meningkatkan mulur benang sebelum putus. Jika benang memiliki persentasi kemuluran yang kecil, maka ketika ada beban tarik yang kecil pun benang akan mudah putus sehingga kurang baik digunakan sebagai benang tekstil pakaian (Noerati, dkk. 2013:5). Sebaliknya benang yang persentasi kemulurannya tinggi akan menyulitkan dalam proses selanjutnya (Sulam, 2008:18).

Hubungan Filamen Sutera dengan Kekuatan dan Kemuluran Benang
Filamen yang kuat dapat menghasilkan benang yang kuat pula dan benang yang kuat dapat meningkatkan kemuluran benang, karena benang dalam kondisi yang kuat tidak mudah putus ketika terjadi tarikan. Ketika ada tarikan, maka ada pertambahan panjang benang. Semakin lama benang menahan tarikan, maka panjang benang semakin bertambah, sehingga kemuluran benang menjadi lebih tinggi.  Tingkat kemuluran benang sangat erat kaitannya dengan kekuatan putus benang itu sendiri. Semakin tinggi kekuatan putus benang, maka semakin tinggi tingkat kemuluran benang (Nofrizal, Ahmad, Syofyan dan Habibie, 2008:105). 

Gambar Uji Kekuatan Tarik Benang Sutera


SUMBER
Noerati, S., Gunawan, M. Ichwan dan A. Sumihartati. 2013. Teknologi Tekstil. Bahan Ajar Pendidikan dan Latihan Profesi Guru. Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil. http://www.scribd.com/doc/227425468/39-Modul-PLPG-Tekstil-2013-Draft-2#force_seo. [10 November 2014].

Nofrizal, M. Ahmad, I. Syofyan dan I. Habibie. 2008. Kajian Awal Pemanfaatan Rumput Teki (Fimbristylis sp), Linggi (Penicum sp) dan Sianik (Carex sp) sebagai Serat Alami untuk Bahan Alat Penangkapan Ikan. Jurnal Natur Indonesia No. 14 (1), Oktober 2011.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=31635&val=2271 . [11 Desember 2014].

Sulam, A. L. 2008. Teknologi Pembuatan Benang dan Pembuatan Kain Jilid 1. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan.