Monday, December 10, 2018

TANAMAN MURBEI (Morus sp.)


Murbei sendiri merupakan tanaman yang dimanfaatkan daunnya sebagai pakan ulat sutera, salah satunya adalah ulat sutera jenis Bombyx mori L yang hanya memakan satu jenis daun yaitu murbei. Murbei memiliki marga Morus berasal dari family Moraceae. Adapun sistematika tanaman murbei, yaitu sebagai berikut :

Divisio                         : Spermatophyta
Subdivisio                   : Angiospermae
Kelas                           : Dicotyledoneae
Ordo                            : Urticalis
Famili                          : Moraceae
Genus                          Morus
Spesies                        : Morus sp.

Berdasarkan morfologi bunga, marga Morus dibagi menjadi 24 jenis. Jenis-jenis murbei yang terdapat dan tersebar di Indonesia sendiri antara lain Morus albaMorus multicaulisMorus australisMorus alba var. macrohphyllaMorus alba var. Cathayana,  Morus alba var. KanvaMorus AustralisMorus khunpai  dan Morus bombycis. Jenis- jenis murbei diklasifikasikan, antara lain, dari bentuk dan warna bunga, kuncup, tunas, daun dll. Bentuk- bentuk yang khas dari dauh adalah : daun berlekuk dan daun utuh. Daun-daun belekuk selanjutnya diklasifikasikan dalam berbagai kategori, tergantung pada jumlah lekukan. Akan tetapi daun yang memiliki banyak lekukaan, dari sudut kegunaanya, berkualitas rendah. Berikut klasifikasi jenis-jenis murbei :
Morus Nigra : Warna batangnya hijau kecoklat-coklatan. Daunnya lonjong dan lancip ujungnya, berwarna hijau tua, permukaannya halus dan adakalanya bercelah/berlekuk dalam, dan Buahnya berwarna merah jambu, ketika masih muda, dan hitam , apabila sudah tua.
Morus Multicaulis : Warna batang coklat, atau coklat kehijau-hijauan. Daunnya sangat besar, membulat dan permukaannya bergelombang, sedang pinggiran daun bergerigi. Buahnya berwarna merah, yang keluar pada waktu stek baru ditanam.
Morus Austalis : sifat sama dengan morus nigra, hanya batangnya berwarna coklat kekuning- kuningan.
Morus Alba : Bentuk daun sama dengan morus alba. Buku dan ruas, batangnya yang pendek-pendek dan pertumbuhannya yang tidak keatas, melainkan kesamping.
Morus alba var. macrophilla : Daunnya mempunyai lekukan yang dalam dan permukaannya sangat kasar, seperti ampelas. Batangnya berwarna putih dan memiliki ruas panjang.
Morus bombycis : Permukaan daun sangat halus

Tanaman murbei ini akan tumbuh dengan baik apabila ditanam pada ketinggian 300 meter diatas permukaan laut/dpl, dengan kondisi tanah yang gembur dan subur. Pembibitan untuk tanaman murbei, yaitu dari bibit yang  berupa stek atau hasil persemaian yang berasal dari pohon induk dengan umur lebih dari satu tahun. Selain itu, cabang yang digunakan untuk bibit harus segar serta bebas dari hama dan penyakit. Namun, sebagian besar bibit yang digunakan untuk pembibitan tanaman murbei berupa stek batang.

Tanaman Murbei

Sumber :
Atmosoedarjo, H. S., J. Katsubrata, M. Kaomini., W. Saleh, dan W. Moerdoko. 2000. Sutera Alam Indonesia. Jakarta : Sarana Wana Jaya.
Guntoro, S. 1994. Budidaya Ulat SuteraYogyakarta : Kanisius.



ULAT SUTERA


Apa itu ulat sutera?
Ulat sutera sebenarnya merupakan salah satu  fase dari siklus hidup serangga atau Hexapoda yang melalui metamorphosis sempurna. Metamorfosis ini dimulai dari telur, berubah menjadi larva, kemudian menjadi kepompong (kokon), membentuk pupa dan akhirnya menjadi imago (bentuk dewasa), yakni berupa kupu-kupu. Kupu-kupu ulat sutera ini termasuk ke dalam family Bombycidae, yakni termasuk ke dalam keluarga ngengat. Ngengat sendiri merupakan hewan nocturnal atau hewan yang pergerakannya aktif dimalam hari.

Salah satu species ulat sutera yang paling terkenal dan dibudidayakan di Indonesia adalah Bombyx mori L. Ulat sutera ini hanya memakan satu jenis tanaman yaitu daun murbei atau morus sp. Pada tahap larva untuk ulat sutera dibagi menjadi fase ulat kecil dan fase ulat besar. Fase ulat kecil dibagi menjadi tiga instar. Instar merupakan periode ulat akan mengalami masa tidur dan mengalami pergantian kulit. Instar I : ulat berumur 1 – 4 hariInstar II : ulat berumur 5 – 7 hari dan Instar III : ulat berumur 8 – 12 hari. Fase ulat besar dibagi menjadi dua instar, yaitu instar IV dan instar IV dengan umur sekitar 13 hari. setelah instar V berakhir ulat akan mengokon. Kokon inilah yang nantinya digunakan sebagai bahan baku pembuatan benang sutera. Adapun sistematika ulat Bombyx mori L. adalah sebagai berikut :

Kingdom         : Animalia
Phylum            : Arthopoda
Kelas               : Insecta
Ordo                : Lepidoptera
Family             : Bombycidae
Genus              : Bombyx
Spesies            : Bombyx mori L.

Ulat Bombyx mori L.

Selain ulat sutera yang dibudidayakan ada juga ulat sutera liar yang dikembangakan Indonesia, yaitu Cricula trifestrata helf dan Attacus atlas linn. Ulat Cricula menghasilkan kokon berwarna emas. Ulat ini biasanya hidup di pohon Alpukat, mangga, kayu manis, mete, kenari dan rambutan. Sedangkan ulat Attacus dikenal dengan ulat kekat dan ngengatnya disebut dengan kupu gajah karena ukurannya yang besar. Ulat sutera ini biasa hidup di pohon sirsak, jambu biji, mahoni, keben dan alpukat. Kepompong atau kokon dari kedua ulat sutera liar ini biasa digunakan sebagai kerajinan tangan dan bahan baku pembuatan benang sutera.


Ulat Cricula trifestrata helf

Ulat Attacus atlas linn



Sumber :
https://www.pinterest.com/pin/351914158362389069/
http://www.learnaboutbutterflies.com/Caterpillar%20-%20Attacus%20atlas.htm 
Guntoro, S. 1994. Budidaya Ulat Sutera. Yogyakarta: Kanisius.
Atmosoedarjo, H. S., J. Katsubrata, M. Kaomini., W. Saleh, dan W. Moerdoko. 2000. Sutera Alam Indonesia. Jakarta: Sarana Wana Jaya.

x

Sunday, December 9, 2018

SEJARAH PERSUTERAAN

Sutera indentik dengan bahan lembut dan mewah. Sutera ini sendiri berasal dari serat yang dihasilkan oleh ulat sutera. Namun, dari manakah sebenarnya sutera ini berasal. Sutera berasal dari negara China, negara ini sendiri merupakan negara yang sangat subur dan cocok untuk tempat berkembangbiak ulat sutera. Pada dinasti Han (2500 SM) negara China sudah mulai menciptakan alat-alat pengolahan kokon, da memulai usaha pemintalan benang dan pertenunan kain sutera. Kain sutera ini diberi nama serica yang berarti "sutera".

Pada masa itu, istri Kaisar Han yang bernama Maharani Hai Ling mulai mengenal dan menggunakan pakaian berbahan sutera, kemudian diikuti oleh para bangsawan dan pengusaha kaya. Pakaian dari sutera ini mulai berkembang menjadi salah satu pakaian kebudayaan China, dan mulai diperdagangankan ke negara-negara lain dengan sistem barter atau tukar-menukar, seperti ke Afrika yang ditukar dengan gading dan kekayaan alam lainnya. Selain itu, diperdagangkan juga ke India, Persia dan Yunani.

Jaringan perdagangan sutera ini mulai memasuki negara-negara Eropa lewat jalur karavan, atau dikenal sebagai "Silk Road" (Jalur Sutera). Silk Road dimulai pada dinasti Han tahun 202 SM - 220 SM. Silk Road sendiri merupakan jalur perdagangan sutera yang paling tekenal diperadaban China. Chan Chen adalah orang pertama mempunyai gagasan tentang jalur perdagangan sutera atau silk road

Dengan adanya gagasan jalur sutera ini, maka perdagangan di China semakin meningkat dan semakin meningkat pula pedagang yang mengunjungi negara China, maka pengenalan kebudayaan dan agama pun dimulai. Sehingga pada dinasti Han agama Budha mulai masuk ke negara China. Namun, pada masa dinasti Tang 706 SM, perdagangan sutera mulai menurun dan berkembang lagi pada masa dinasti Sung di abad ke-11 dan ke-12.

Pada 300 sesudah masehi negara-negara lain, seperti Korea, India dan Jepang mulai mengetahui rahasia pengolahan sutera dan mulai mengembangkan sutera dinegaranya sendiri, dengan cara menyelundupkan telur ulat sutera dari China. India dan Jepang sendiri menggunakan wanita untuk menyelundupkan telur ulat sutera. Selain telur, mereka juga membawa sarana dan pengetahuan tentang sutera. Dan pada abad ke-2 Jepang mulai mendatangkan kupu-kupu (ngengat) penghasil sutera dari China. Pada zaman Meiji tahun 1889 usaha sutera meningkat pesat, bahkan menjadi salah satu pokok perekonomian Jepang. Selain Jepang, pada abad ke-6 orang Eropa juga berhasil menyelundupkan telur ulat sutera dan Kaisar Yustiani mulai memperkenalkan sutera dinegerinya sendiri. 

Dengan pengetahuan tentang sutera yang didapatkan oleh negara-negara lain, sejak saat itu China tidak lagi memonopoli persuteraan alam. Namun, hanya sampai tahun 1854 persuteraan alam di Eropa berkembang dengan lancar. Hal ini disebabkan oleh wabah penyakit yang menghancurkan pemeliharaan ulat sutera dan mengakibatkan merosotnya industri sutera, maka akhirnya negara-negara Eropa hanya bisa bergerak berdasarkan import bibit dari Asia.

Salah satu negara Asia, yaitu Indonesia mulai mengenal sutera sejak abad ke-10, dan mulai masuk sejak kerajaan-kerajaan Nusantara mengadakan hubungan dagang dengan China dan India, terutama bahan pakaian bagi para kerabat kerajaan. Selain itu, berdasarkan laporan di masa dinasti Sung, benang sutera telah ditemukan di Nusantara pada abad ke-11 dan diperkuat oleh adanya catatan sejarah Sung, bahwa pada saat itu Nusantara telah mengimpor bahan-bahan pewarna dari China. Adapun menurut sumber Jepang , yang ditulis oleh Sira-Kawa de Sendai (Osyou) yang diterjemahkan oleh Leon Rosny (1868), menyebutkan adanya terminologi persuteraan alam dalam tiga bahasa Nusantara, yaitu Melayu, Jawa dan Bugis.

Sabek : Sutera
Woena Sabek : Benang Sutera
Lipak Sabek : Sarung Sutera
Ulle Sabbe : Ulat Sutera
Kapompong : Kokon
Pappanre Ulek : Murbei
dll.

Menurut laporan resmi Pemerintahan Hindia Belanda, kegiatan budidaya persuteraan alam di Nusantara pertama kali dilakukan oleh Zwaardecroon (1718-1725) dan dilanjutkan oleh De Haan (1725-1729). Namun proyek persutera alam Zwaardecroon dan De Haan dihentikan oleh pemerintahan kolonial, karena dianggap tidak menguntungkan. Dan pada tahun 1833 usaha-usaha persuteraan di era kolonial mulai dilanjutkan oleh Gubernur L.M. Rollin Conquerque. Di tahun 1884 pemerintah kolonial Belanda mulai melibatkan masyarakat dalam kegiatan budidaya sutera alam. Di tahun 1885 di Nusantara, yaitu tepatnya di Gunung Gede, Jawa Barat ditemukan tiga jenis murbei lokal : Morus australis, Morus Javanica dan Morus Indica. Dan ditemukan juga Morus sinensis dan Morus latifolia di Rembang, Jawa Tengah.

Di tahun 1903 seorang tuan tanah Cina bernama Lei Kim Liong berhasil menaman murbei dan memelihara ulat sutera, serta memproduksinya menjadi benang sutera dengan harga jual tinggi. Karena keberhasilan yang diperoleh Lei Kim Liong, maka di tahun 1918 pemerintahan kolonial Belanda menggalakkan kembali proyek persuteraan alam. Kemudian di tahun 1922 Takada yang berasal dari Jepang berhasil mengembangkan sutera alam di kebun percobaan di Curup. Ditahun yang sama Ohtani berhasil pula mengembangkan sutera alam di daerah Garut. Dan di tahun 1932 Miyaji mencoba mengembangkan sutera alam di Menado, Sulawesi. Namun, sangat disayangkan semua percobaan ini hanya berjalan beberapa tahun saja.

Pengembangan sutera alam di Indonesia, dengan lebih sungguh-sungguh dimulai tahun 1950, berdasarkan pemikiran DR. Soedjarwo, mantan menteri kehutanan yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala Dinas Kehutanan Yogyakarta, dalam rangka mencari solusi meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan, yaitu dengan memanfaatkan lahan kehutanan, yang kemudian dikenal dengan "Multiple Use Forest Land". 

Di tahun 1963 Mayor Jendral Sambas Atmadinata, Menteri Veteran dan Urusan Demobilisasi telah mengusahan suatu proyek reeling  dan pertenunan sutera alam, yang berlokasi di Ciawi, Bogor. Proyek ini kemudian diteruskan oleh Letnan Jendral Sarbini, dengan mendatangkan DR. F Katsumata seorang berbangsa Jepang. Di tahun yang sama didirikan Balai Sutera Alam di Lembang, Bandung oleh Dept. Veteran dan Demobilisasi, dengan dukungan dari Balai Penelitian dan Pengembangan Tekstil dan penempatan DR. Fujio Katsumata sebagai tenaga expert serikulturnya dan Wibowo Moerdoko sebagai expert serat sutera alam. Di tahun yang sama pula direalisasikanlah pendirian pabrik pemintalan di Ciawi, Bogor. Disusul di tahun 1966 didirikan juga pabrik pemintalan di Yogyakarta. 

Di tahun 1970 pemerintahan membangun Proyek Pembinaan Persuteraan  Alam, di Sulawesi Selatan. Selain itu, pemerintah juga melakukan pembinaan kepada para petani sutera di daerah tersebut. Sampai saat ini kegiatan persuteraan alam di Indonesia masih berjalan, seperti di Temanggung, Jawa Tengah yang menjadi Pusat Pembibitan Telur Ulat Sutera, disusul di Pati, Jawa Tengan yang menjadi sentral pemeliharaan ulat sutera dan pemintalan benang sutera terbesar di Indonesia, kemudian di Sarongge, Cianjur yang menjadi sentral pariwisata dan pertenunan sutera, di Bandung, Bali yang mendai sentral pariwisata sutera alam, dan dikota-kota lainnya seperti Garut, Yogyakarta dan Sulawesi.


Sember : Soekiman A., JKartasubrata, MKaomeni, WSaleh dan WMoerdoko2000. Sutera Alam Indonesia. Jakarta Yayasan  Sarana Wana Jaya.






Thursday, December 31, 2015

Manajemen Pemeriksaan Penyakit di PPUS Candiroto

Manajemen merupakan proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan yang dilakukan untuk menetapkan dan mencapai tujuan dengan menggunakan sumber daya yang ada dalam organisasi. Pemeriksaan penyakit merupakan tahapan kegiatan dalam produksi telur ulat sutera di PPUS Candiroto yang berfungsi untuk mendeteksi penyakit yang ada pada sarana produksi telur, ulat, pupa terutama induk ngengat, sehingga dapat mencegah penyebaran penyakit terutama penyakit yang menurun dari induk ngengat ke telur. Oleh sebab itu, pemeriksaan penyakit berhubungan erat dengan kuantitas dan kualitas telur yang dapat dihasilkan dalam setiap produksi telur ulat sutera, sehingga pelaksanaan yang baik dan tepat untuk manajemen dalam pemeriksaan penyakit sangatlah penting. Adapun pelaksanaan manajemen pemeriksaan penyakit di PPUS Candiroto Jawa Tengah, yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan adalah sebagai berikut.

1. Perencanaan Pemeriksaan Penyakit
Perencanaan pemeriksaan penyakit di PPUS Candiroto untuk produksi telur pada bulan Februari sampai Maret dengan pemeliharaan ulat sutera sebanyak 7 bok telur yang dibagi menjadi 2 kali pemeliharaan, dengan kebutuhan daun murbei 9,8 ton dengan luas kebun 6 hektar menghasilkan 29.220 induk ngengat F1 untuk diperiksa. Pemeriksaan dilakukan setiap setelah peneluran ngengat, setelah peneluran maka induk ngengat akan diserahkan ke bagian laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan penyakit. Pemeriksaan yang dilakukan pada induk ngengat F1 hanya pemeriksaan untuk penyakit pebrine, sedangkan khusus untuk foundation dan breeding diperiksa secara keseluruhan, yaitu untuk penyakit yang disebabkan oleh cendawan atau jamur, virus, bakteri dan protozoa (Pebrine).
Pebrine merupakan penyakit yang disebabkan oleh protozoa yang disebut Nosema bombycis (Setiawati, 2012). Menurut Andadari (2013), nosema berkembangbiak dengan spora dan juga membelah diri. Sporoplasma berkembang biak dengan membelah diri, dari haemolympha melalui ruang-ruang antara sel yang tersebar diseluruh tubuh, tinggal di situ terutama bagian tubuh yang berlemak dan jaringan-jaringan otot. Tiap-tiap belahan mengandung 1 inti dan kemudian membentuk spora. Dalam dua minggu setelah terjadi infeksi pebrine, bagian tubuh dari ulat telah penuh dengan spora yang telah masak. Penyakit ini sangat berbahaya terutama dalam kegiatan produksi telur ulat sutera, karena penyakit ini dapat diturunkan dari induk ngengat ke telurnya, yaitu patogen Nosema bombycis yang hidup di dalam ovari ngengat betina dan penyakit ini akan pindah ke dalam telur untuk menyerang ulat pada generasi berikutnya (Atmosoedarjo, dkk., 2000). Selain itu, juga dapat ditularkan melalui mulut akibat memakan daun murbei yang terdapat patogen tersebut, ruangan dan alat-alat pemeliharaan ataupun ulat yang terkena infeksi dipelihara bersama-sama dengan ulat yang sehat (Setiawati, 2012). Oleh sebab itu, pemeriksaan penyakit perlu dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit ini..
Pemeriksaan penyakit yang dilakukan adalah untuk induk ngengat F1. Saat pemeriksaan penakit tenaga kerja yang dibutuhkan sebanyak 2 orang tenaga kerja wanita dan 2 orang tenaga kerja pria, serta sarana untuk pemeriksaan, yang meliputi 1 bangunan laboratorium untuk ruang pemeriksaan penyakit, 1 unit Moth crusher untuk alat penggerus ngengat dengan 20 ngengat dalam sekali penggerusan, 13 buah mortar desk untuk menampung ngengat yang akan digerus dengan setiap mortar desk berisi 20 ngengat, 30 buah liquid plate untuk menyimpan kaca objek, 120 buah kaca objek untuk menampung preparat dari ngengat yang sudah digerus dengan masing-masing liquid plate berisi 4 buah kaca objek, 29.220 buah deglass untuk menutupi preparat agar tidak bercampur dengan preparat yang lain dan memudahkan saat pemeriksaan, 1 buah gunting untuk menggunting plastik yang berisi ngengat, 2 buah pinset untuk menjepit ngengat dan 1 unit mikroskop untuk memeriksa penyakit pada induk ngengat, juga dibutuhkan lap pel, lap, waskom, kemoceng, sapu dan hand sprayer untuk desinfeksi ruangan.
Bahan yang dibutuhkan untuk pemeriksaan penyakit, yaitu KOH berfungsi untuk melarutkan jaringan pada ngengat, sehingga mempermudah melihat penyakit saat pemeriksaan, formalin 42 % untuk desinfeksi ruangan, alkohol, sabun dan kapas untuk sterilisasi alat. Selain itu, hal-hal yang dibutuhkan untuk menjaga kesehatan dan keselamatan pekerjaa saat pemeriksaan penyakit, yaitu sarung tangan karet, masker, sandal dan pakaian laboratorium.

2. Pengorganisasian Pemeriksaan Penyakit
Pengorganisasian untuk pemeriksaan penyakit sendiri terdiri dari 4 orang, diantaranya pemeriksa penyakit yang bertugas memeriksa penyakit pada induk ngengat, menulis pada kartu pebrine apabila induk ngengat terkena penyakit dan menyerahkan kartu pebrine ke bagian treatment, penggerus induk ngengat bertugas menggerus ngengat pada alat Moth crusher dan memberi deglass pada kaca objek yang berisi preparat, pensterilisasi alat dan desinfeksi ruangan bertugas untuk mensterilkan alat sebelum dan setelah pemeriksaan juga melakukan desinfeksi ruangan setiap setelah pemeriksaan, serta penerima induk ngengat dari bagian peneluran yang bertugas untuk menerima induk ngengat dari bagian peneluran, juga melakukan persiapan sebelum penggerusan induk ngengat yang meliputi pemberian KOH 4% pada mortar desk, memasukkan ngengat ke dalam mortar desk dan penyerahan mortar desk yang berisi ngengat ke bagian penggerus dan melakukan penyerahan kartu pebrine yang berisi data induk ngengat yang terkena pebrine ke bagian treatment. Namun, pengoganisasian untuk pemeriksaan penyakit tidak sesuai dengan pengorganisasian yang disebutkan diatas, karena tenaga kerja yang ada tidak hanya khusus bekerja saat pemeriksaan penyakit, namun semua kegiatan yang ada di PPUS Candiroto dilakukan bersama, sehingga pembagian kerja untuk setiap tenaga kerja kurang diterapkan dengan baik.

3. Pelaksanaan Pemeriksaan Penyakit
Pelaksanaan saat pemeriksaan penyakit, yaitu melakukan pemeriksaan semua sarana produksi telur ulat sutera yang sudah didesinfeksi sebelum dipergunakan agar sarana tersebut terbebas dari penyakit. Apabila setelah pemeriksaan, sarana tersebut positif terkena penyakit maka perlu dilakukan desinfeksi kembali menggunakan kaporit 5% dan fumigasi menggunakan formalin 5%. Melakukan pemeriksaan penyakit pada induk ngengat, adapun tahapan sebelum dilakukan pemeriksaan, diantaranya mensterikan alat-alat sebelum dipakai seperti ; Moth crusher, mortar desk, liquid plate, kaca objek, gunting, pinset dan mikroskop.
Menerima induk ngengat dari bagian peneluran yang sudah dilengkapi dengan data, seperti jenis ulat, tanggal peneluran dan jumlah induk ngengat. Selanjutnya induk ngengat dimasukkan ke dalam lubang mortar desk, yang sebelumnya sudah diisi larutan KOH 4 %. Induk ngengat yang sudah dimasukkan ke dalam mortar desk, kemudian digerus menggunakan moth crusher untuk mendapatkan preparat dan liquid plate yang sudah dilengkapi kaca objek dimasukkan ke moth crusher untuk menampung preparat. Preparat tersebut diberi deglas agar tidak menyatu antar preparat yang satu dengan yang lain, serta memudahkan dalam pemeriksaan, setelah itu diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 600 kali. Tanda kontaminasi pebrine adalah bentuknya bulat memanjang seperti butiran beras dan berwarna hijau pada bagian tengahnya, apabila pada satu deglas terdapat 3 kontaminasi pebrine maka induk ngengat dinyatakan terkena pebrine dan diberi tanda (+) pada kartu pebrin dan (-) untuk yang terbebas dari pebrine. Hal tersebut berlaku untuk mortar desk yang berisi 20 induk ngengat atau per lubang berisi satu ngengat, sedangkan untuk mortar desk berisi 80 induk ngengat apabila terdapat 5 deglas yang terkena pebrine, maka telur dari 80 induk ngengat yang ada pada kertas peneluran harus dimusnakan semua. Selanjutnya kartu pebrine diberikan ke bagian treatment, agar telur yang terkena pebrin dapat diambil dan dimusnahkan.
Setelah dilakukan pemeriksaan dan mendapatkan data induk ngengat yang terkena pebrine, yaitu sebanyak 326 induk maka dilakukan perhitungan jumlah induk terkena pebrine (326) dibagi jumlah induk yang diperiksa (29.220) dikalikan 100 %, sehingga didapatkan hasil persentase induk ngengat yang terkena pebrine 1,11 % dari 29.220 induk yang diperiksa atau sama dengan 28.894 induk yang terbebas dari pebrine. Maka dengan begitu dari 28.894 induk tersebut dapat menghasilkan 361 boks telur dengan masing-masing boks telur berisi 25.000 butir telur yang berasal 80 induk ngengat, dengan harga per boks telur Rp 110.000.
Setiap setelah pemeriksaan penyakit, maka ruangan dan alat-alat yang digunakan segera didesinfeksi. Ruang pemeriksaan disapu, dipel dan selanjutnya disemprot menggunakan larutan formalin 6% atau 1 liter formalin dengan 6 liter air. Sedangkan untuk alat-alat seperti mortar desk dan moth crusher  dibersihkan menggunakan air dan dilap menggunakan kapas yang sudah diberi alkohol 70% sama halnya untuk liquid plate dan mikroskop. Khusus untuk kaca objek direndam didalam formalin, dicuci menggunakan sabun, dibilas air, dikeringkan dan dilap menggunakan kapas yang sudah diberi alkohol 70%.

4. Pengawasan Pemeriksaan Penyakit
Pengawasan dilakukan agar tidak terjadi penyimpangan atau kesalahan, sehingga dapat diantisipasi dan dikoreksi, seperti yang terjadi ketika pemeriksaan penyakit pada induk ngengat yang seharusnya dilakukan di laboratorium yang steril, namun pemeriksaan yang dilakukan adalah di ruang pemeliharaan ulat besar yang tidak steril, sehingga ketika pemeriksaan penyakit banyak induk yang terkena pebrine, karena alat dan ruangan yang tidak steril sehingga mengakibatkan kontaminasi pada objek yang diperiksa. Apabila hal tersebut terus terulang maka induk ngengat yang seharusnya terbebas dari pebrine menjadi  terkena pebrine, sehingga mengurangi kuantitas telur yang dihasilkan saat produksi dan mengurangi keuntungan yang dihasilkan. Oleh sebab itu, pengawasan sangatlah penting terutama ketika pemeriksaan penyakit. Pengawasan ketika pemeriksaan dan setelah pemeriksaan penyakit dilakukan oleh Badan Persuteraan Alam (BPA) dari Sulawesi setiap 2 bulan sekali, namun hal tersebut sekarang sudah tidak dilakukan lagi. Selain itu, perlu dilakukan juga pengawasan ketika dan setelah pemeliharaan ulat sutera, diantaranya dengan pemeriksaan pendahuluan pada sarana yang akan digunakan dalam produksi telur, melakukan monitoring kesehatan ulat, serta melakukan seleksi kokon, pupa dan ngengat agar penyakit tidak menyebar dan telur yang dihasilkan berkualitas.

Sumber:
Andadari, L., S. Pudjiono, Suwandi, dan T. Rahmawati. 2013. Budidaya Murbei dan Ulat Sutera. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan.
Atmosoedarjo, H. S., J. Katsubrata, M. Kaomini., W. Saleh, dan W. Moerdoko. 2000. Sutera Alam Indonesia. Jakarta: Sarana Wana Jaya.
Setiawati, Linda. 2012. Praktik Kerja Lapang Di Pusat Pembibitan Ulat Sutera Candiroto Temanggung. Laporan Praktik. Universitas Negeri Semarang.

PUSAT PEMBIBITAN ULAT SUTERA CANDIROTO JAWA TENGAH

1. Sejarah PPUS Candiroto
Pusat Pembibitan Ulat Sutera (PPUS) Candiroto merupakan salah satu produsen bibit ulat sutera (telur ulat sutera) milik pemerintah dibawah naungan Perum Perhutani. PPUS Candiroto didirikan pada tahun 1974 dan diresmikan pada tanggal 27 Mei 1975 oleh Dirjen Kehutanan yang pada waktu dipimpin oleh Dr Soedjarwo. Pendirian PPUS Candiroto adalah untuk memperoleh bibit ulat yang memiliki sifat unggul sehingga dapat mencapai tingkatan swasembada bibit ulat sutera yang berkualitas dalam rangka menunjang pengembangan persuteraan alaman nasional. Untuk menjamin ketersediaan bibit ulat sutera yang kualitas dan kuantitasnya dalam memenuhi permintaan pasar sehingga dapat meningkatkan produksi kokon, diterbitkanlah Surat Keputusan Direksi Nomor 932/ Kpts/ 1988 tanggal 10 Oktober 1988 tentang pengembangan PPUS Candiroto di KPH Kedu Utara dengan tujuan :
1.    Mengusahakan Unit Persuteraan Alam untuk memenuhi kebutuhan industri sutera alam dengan penyediaan bibit ulat sutera F1 unggulan yang berkualitas dan mencukupi kebutuhan nasional.
2.    Menambah pendapatan Perum Perhutani.
3.    Menambah kesejahteraan masyarakat berupa lapangan kerja dan sumber pendapatan.
4.    Menunjang pengembangan persuteraan alam secara nasional.      
Dengan berjalannnya waktu dan perkembangan di Perum Pehutani, maka pada tahun 2006 PPUS Candiroto Peberada dibawah naungan KBM Industri Non Kayu Perum Pehutani Unit 1 Jawa Tengah. Kemudian pada tahun 2009 berada dibawah naungan KBM AEJ Perum Pehutani Unit 1 Jawa Tengah dan pada tahun 2014 PPUS Candiroto berada dibawah naungan Kesatuan Bisnis Mandiri Agribisnis I Devisi Agribisnis dan Wisata, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah.

2. Struktur Organisasi PPUS Candiroto  
Struktur organisasi di PPUS Candiroto sendiri dikepalai oleh seorang Asisten Manager yang membawahi dua orang kepala bagian setingkat yaitu kaur produksi dan kaur kebun. Kaur dibantu oleh 7 koordinator bidang, yaitu breeding, produksi kokon bibit, peneluran, treatment dan laboratorium. Tugas-tugas administrasi dilaksanakan oleh bagian tata usaha yang dikepalai seorang tata usaha, untuk bagan struktur organisasi dan struktur kerja PPUS Candiroto dapat dilihat pada gambar dibawah.


Gambar Struktur Organisasi PPUS Cnadiroto

              
3. Visi dan Misi PPUS Candiroto
          PPUS Candiroto merupakan salah satu organisasi yang bergerak dalam bidang persuteraan alam khususnya penyediaan bibit telur ulat sutera yang berada dibawah naungan KPH Kedu Utara Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah. Visi dan Misi PPUS Candiroto yaitu :
1.      Visi
Membangun budaya yang produktif dan profesional. Regaloh industry non kayu sebagai bisnis hasil hutan non kayu secara profesional dan berkualitas untuk meningkatkan nilai tambah hutan non kayu.
2.      Misi
a   Mengelola bisnis secara profesional demi kepuasan dan harapan pengelola.

b Meningkatkan dan optimalkan aset perusahaan sebagai sumber daya produksi secara berkelanjut          demi berlangsungnya usaha.

4. Kondisi Lingkungan
1. Letak  Geografis PPUS Candiroto
Secara geografis PPUS Candiroto terletak pada ketinggian 575 – 600 meter diatas permukaan laut. Temperatur didaerah ini berkisar antara 25o C - 26o C dengan kelembaban udara 80 % - 90 %. PPUS Candiroto terletak di Desa Bejen kecamatan Bejen Kabupaten Temanggung Km. 37 Jurusan Temanggung – Weleri, Jawa Tengah. Pusat Pembibitan Ulat Sutera (PPUS) Candoroto sampai sekarang telah melayani konsumen bibit telur ulat sutera antara lain: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Sulawesi.
2. Sarana dan Prasarana
Ketersediaan bibit ulat sutera baik kualitas maupun kuantitasnya membutuhkan sarana dan prasarana yang mendukung untuk produksi telur atau untuk kegiatan lainnya. Adapun sarana dan prasarana yang dimiliki Pusat Pembibitan Ulat Sutera (PPUS) Candiroto yang menunjang seluruh kegiatan yang ada berupa bangunan kerja, bangunan kantor, laboratorium, dan kebun.
Sarana dan prasarana yang terdapat di PPUS Candiroto antara lain :
1)   Ruangan pemeliharaan ulat sutera dengan kapasitas s/d 300 box intake/tahun.
2)    DCS (Dry Cold Stronge) untuk kepentingan penyimpanan telur dan inkubasi dengan kapasitas 50.000 box/tahun dengan tingkatan temperatur 2,5º C; 5º C; 7,5º C; 15º C dan 25º C.
3)   Sarana dan prasarana peneluran dan treatment telur ulat sutera dengan kapasitas yang memadai.
4)   Sarana dan prasarana pemeriksaan penyakit (tes pebrine), yaitu laboratorium, moth crusher, mikroskop, oven listrik dan oven gas
5)   Sarana untuk pengecekan kualitas kokon dan barang yang berupa timbangan digital dan single cocoon reeling tool.
6)   Kebun murbei dengan beberapa varietas murbei yang ditanam, diantaranya Morus alba, Morus multicaulis, Morus Cathayana, Morus Sp Var Kanva dan Morus Sp Var SHA2 x lun 109.