Thursday, May 8, 2014

Cara Pembuatan Teh dan Keripik dari Daun Murbei


Pembuatan Teh Murbei
Alat 
Oven, saringan, kompor gas, loyang, timbangan, terpal dan sealer.

Bahan
Daun murbei urutan ke 3 dan 4, koran, tisu, plastik, dus pengemas, label, gas, benang, stampel dan screener.

Prosedur
1. Memanen daun murbei segar urutan ke 3 dan 4, kemudian masukkan ke dalam baskom. 
2. Daun murbei yang sudah dipanen, kemudian ditimbang sebelum dilayukan. Daun segar yang telah ditimbang sebanyak 2 kg.
3. Tebarkan daun murbei diatas terpal secara merata, jemur daun murbei di bawah sinar matahari selama 20 menit dari pukul 09.10-09.30 atau sampai daun layu.
4. Nyalkan kompor gas agar oven menjadi panas yaitu sampai suhu 120oC.
5. Daun yang sudah dijemur kemudian ditimbang, hasilnya sebanyak 1,7 kg daun layu. Terjadi penyusutan 0,3 kg.
6. Setelah itu, daun murbei ditebar di atas sasag secara merata atau tidak tumpang tindih, agar daun kering secara merata saat dioven. 
7. Sasag yang berisi daun murbei dimasukkan ke dalam oven.
8. Pengovenan daun murbei dilakukan dari pukul 09.40 pada suhu awal 65oC - 120oC.
9. Pukul 09.45 pada suhu 120oC dilakukan pemeriksaan tingkat kekeringan daun dengan cara meratakan kembali posisi daun yang belum kering dengan daun yang sudah kering agar benar-benar kering merata. Kemudian sasag yang berada di atas dipindahkan ke bawah begitupun sebaliknya posisi sasag yang berada di bawah pindahkan ke atas. 
10. Pemeriksaan kekeringan daun juga dilakukan pukul 09.50 pada suhu awal 60oC – 120oC, pukul 10.02 pada suhu 82oC - 122oC dan pukul 10.10 pada suhu 120oC.
11. Pengeringan selesai pada pukul 10.15 pada suhu 115oC.
12. Setelah daun benar-benar kering, sasag yang berada dioven diangkat dan diletakkan di atas koran agar daun tidak jatuh ke lantai.
13. Pindahkan daun yang ada disasag ke baskom, setelah itu daun diremas menggunakan tangan.
14. Pisahkan antara daun yang sudah halus dengan tulang daun dan daun yang tidak halus. Diperoleh data daun yang halus sebanyak 350 gr, sedangkan tulang daun dan daun yang tidak halus sebanyak 150 gr.
15. Setelah itu dilakukan penyaringan daun murbei sebelum dikemas.
16. Masukkan teh murbei ke dalam tisu. 
17. Label dan benang dilem, kemudian ujung benang dimasukkan ke dalam tisu yang berisi teh murbei.
18. Setelah itu tisu yang berisi teh murbei disealer sampai benar-benar rapat.
19. Tisu yang berisi teh murbei dimasukkan ke dalam plastik. 
20. Plastik yang berisi teh murbei disealer dan dimasukkan ke dalam dus, kemudian dikemas.


Pembuatan keripik dari Daun Murbei
Alat
Pisau, kompor gas, wajan, cobek, serokan, spatula, talenan dan baskom.

Bahan
Daun murbei 100 lembar, telur satu butir, tepung terigu ½ kg, tepung beras 1 bungkus, air 1200 cc, minyak goreng 1 kg, bawang putih 4 siung, bawang merah 7 siung, ketumbar ½ ons, royco 4 bungkus, bawang daun 3 batang, daun jeruk 1 gr dan garam secukupnya.

Prosedur 
1. Daun murbei dicuci sampai bersih, kemudian tiriskan.
2. Ulek bawang putih dan bawang merah sampai halus.
3. Iris kecil-kecil daun jeruk dan daun bawang.
4. Sangrai ketumbar sampai coklat kehitaman, kemudian ulek jangan terlalu halus.
5. Campurkan semua bahan kecuali daun murbei ke dalam baskom, kemudian tambahkan air secukupnya dan aduk sampai semua bahan tercampur (adonan tidak terlalu kental ataupun encer).
6. Masukkan minyak goreng ke dalam wajan, tunggu sampai panas.
7. Setelah minyak goreng panas, masukkan daun murbei yang telah ditiriskan ke dalam adonan satu per satu kemudian masukkan ke dalam wajan yang berisi minyak panas. 
8. Goreng dengan api sedang, setelah keripik berwarna kecoklatan angkat dan tiriskan.

Wednesday, March 26, 2014

Perkembangan Persuteraan Alam melalui Konservasi Persuteraan (Ekologi dan Wisata)

Ditinjau dari bahasa, konservasi berasal dari kata conservation, dengan pokok kata to conserve (Bahasa Inggris) yang artinya menjaga agar bermanfaat, tidak punah atau lenyap atau merugikan. Sedangkan sumber dalam alam sendiri merupakan salah satu unsur dari liungkungan hidup yang terdiri dari sumber daya alam hayati dan sumber daya alam non hayati, serta seluruh gejala keunikan alam, semua ini merupakan unsur pembentuk lingkungan hidup yang kehadirannya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Konservasi tidak terlepas dari ekosistem.
Makhluk hidup dengan lingkungan merupakan satu kesatuan fungsional yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya disebut ekosistem. Ekosistem tersusun dari komponen biotik (berbagai makhluk hidup) dan komponen abiotik. Ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik komponen biotik dan abiotik dalam ekosistem disebut ekologi. Dalam suatu ekosistem, hubungan antar komponen berlangsung sangat erat dan saling memengaruhi. Oleh sebab itu gangguan atau kerusakan pada salah satu komponen dapat menyebabkan kerusakan seluruh ekosistem. Salah satunya yaitu kegiatan persuteraan alam yang erat kaitannya dengan ekologi.
Persuteraan alam merupakan suatu kegiatan agro-industri yang mempunyai rangkaian kegiatan yang panjang ; mencakup penanaman murbei, pemeliharaan ulat sutera, produksi kokon, pengolahan kokon, pemintalan (reeling) dan pertenunan sutera. Produksi kokon dan benang sutera, berpotensi lebih besar, karena cepat memberikan hasil dengan nilai ekonomi yang cukup tinggi (Atmoseoedarjo, dkk. 2000:1).
Kegiatan persuteraan alam dapat berkembang apabila daun murbei sebagai pakan ulat sutera selalu tersedia. Namun, saat ini daun murbei yang tersedia relatif sedikit dari yang dibutuhkan. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik biotik maupun abiotik.  Faktor biotik, meliputi tumbuhan, hewan dan manusia. Sedangkan faktor abiotik meliputi iklim, cahaya matahari, tanah dan air. Selain kedua faktor tersebut, pengalih fungsian lahan murbei menjadi bangunan merupakan faktor utama saat ini, sehingga menghambat program konservasi persutaraan alam.
Upaya konservasi persuteraan alam antara lain;
1.      Menerapkan kebijakan persuteraan alam yang dibuat pemerintah.
2.      Mengembangbiakan berbagai varietas tanaman murbei.
3.      Meningkatkan produktivitas tanaman murbei.
4.      Penerapan teknologi yang ramah lingkungan.
5.      Pemanfaatan lahan tanaman murbei yang kurang produktif.
6.      Pengelolaan limbah dari tanaman murbei.
7.      Melakukan penyuluhan kepada masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sehingga dapat mengelola sumber daya alam yang ada.
Dengan melaksanakan upaya konservasi diatas, maka kualitas dan kuantitas tanaman murbei dapat meningkat, namun peningkatan ini tidak akan mempengaruhi ekosistem yang lain. Sehingga kegiatan persuteraan alam dapat berkembang karena dengan meningkatnya kualitas dan kuantitas daun murbei maka kualitas dan kuantitas kokon, benang sutera dan kain sutera yang dihasilkan akan meningkat pula.
Perkembangan persutaraan alam ini dapat meningkatkan minat masyarakat terhadap persutaraan alam, salah satunya yaitu adanya tempat wisata yang berhubungan dengan persutaraan alam, seperti;
1.      Royal Silk Foundation yang berlokasi di Desa Karang Tengah Imogiri Bantul Yogyakarta Indonesia. Royal Silk Foundation merupakan kegiatan yang memberikan kontribusi untuk meningkatkan rehabilitasi tanah di Lahan Kritis Kawasan Sultan Ground, pemanfaatan kokon ulat sutera liar Attacus atlas (Mahoni) dan Criculla trifenestrata (Jambu Mete) menjadi handycraft, benang sutera dan kain sutera, dan memperkenalkan kepada petani pendidikan Konservasi Alam sebagai bagian dari peserta untuk mengurangi global warming maka setiap pengunjung yang datang diharuskan untuk menanam satu pohon satu orang.
2.      PSA Regaloh yang berlokasi di Jl. Raya Mranggen Km. 15 Semarang-Purwodadi, Jawa Tengah. Regaloh merupakan daerah hutan kayu, maka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dilakukan program konservasi yaitu dengan tidak merusak hutan, sehingga dibentuk Pabrik Pemintalan Proyek Sutera Alam Regaloh. Dengan keberadaaan PSA Regaloh dapat menyerap tenaga kerja dari daerah sekitar PSA Regaloh. Berbagai macam kegiatan PSA Regaloh mulai dari penanaman tanaman murbei, pemeliharaan ulat sampai pengolahan kokon membutuhkan banyak tenaga kerja, sehingga memberikan kesempatan bagi masyarakat sekitar untuk meningkatkan penghasilannya. Sejalan dengan perkembangan zaman PSA Regaloh dijadikan sebagai tempat wisata, khususnya wisata edukasi persuteraan alam.
3.      Pusat Pembibitan Ulat Sutera yang berlokasi di Desa Bejen, Kecamatan Candiroto, Kabupaten Temanggung, Kp. 56257, Jl. Sukorejo-Parakan, Jawa Tengah, milik Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah.
4.      Padepokan Dayang Sumbi yang berlokasi di Desa Pamoyanan, Jalan Arcamanik Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung.

5.      Budidaya Persutraan Alam “Sutera Sari Segara” yang berlokasi di Br Lateng, Sibang Kaja, Kec.Abiansemal Kab.Badung, Bali.


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrachman, M. A. 2012. Konservasi Sumber Daya Alam. (Online). Tersedia : http://hukumsda.blogspot.com/2012/01/konservasi-sumber-daya-alam.html. [08 November 2013].

Soekiman A., J. Kartasubrata, M. Kaomeni, W. Saleh dan W. Moerdoko. 2000. Sutera Alam Indonesia. Jakarta : Yayasan  Sarana Wana Jaya.

Pemupukan dan Kondisi Tanah

Definisi Pupuk dan Pemupukan
Menurut Marsono dan Paulus Sigit (2001) bagi tanaman, pupuk sama seperti makanan pada manusia. Oleh tanaman, pupuk digunakan untuk hidup, tumbuh dan berkembang. Jika dalam makanan manusia dikenal ada istilah gizi maka dalam pupuk dikenal dengan nama zat atau unsur hara. Pupuk adalah material yang ditambahkan pada media tanam atau tanaman untuk mencukupi kebutuhan hara yang diperlukan sehingga tanaman mampu berproduksi dengan baik. Material pupuk dapat berupa bahan organik ataupun anorganik. Sedangkan pemupukan adalah menambahkan material dalam hal ini unsur hara yang dibutuhkan tanaman.

Definisi Tanah
Tanah adalah bagian permukaan bumi yang terdiri dari mineral dan bahan organik. Tanah sangat penting peranannya bagi semua kehidupan di bumi, karena tanah mampu mendukung kehidupan tumbuhan di mana tumbuhan menyediakan makanan dan oksigen kemudian menyerap karbon dioksida dan nitrogen. Bagi pertanian tanah merupakan asas yang sangat penting dalam menjalankan penanaman berbagai tanaman, seperti tanaman pangan, tanaman industri dan sebagainya. Menurut Kemas Ali Hanafiah (2005:4), tanah pada masa kini sebagai media tumbuh tanaman didefinisikan sebagai :
Lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh-berkembangnya perakaran penopang tegak tumbuhnya tanaman dan penyuplai kebutuhan air dan udara; secara kimiawi berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi (senyawa organik dan anorganik sederhana dan unsur-unsur esensial seperti N, P, K, Ca, Mg, S, Cu, Zn, Fe, Mn, B, Cl dan lain-lain); dan secara biologis berfungsi sebagai habitat biota (organisme) yang berpartisipasiaktif dalam penyediaan hara tersebut dan zat-zat aditif (pemacu tumbuh, proteksi) bagi tanaman”, yang ketiganya secara integral mampu menunjang produktivitas tanaman untuk menghasilkan biomass dan produksi baik tanaman pangan, obat-obatan, industri perkebunan, maupun kehutanan”.
 


Pemupukan dan Kondisi Tanah
Pemupukan mempunyai maksud mencapai kondisi dimana tanah memungkinkan tanaman untuk tumbuh dengan optimal. Pertumbuhan tanaman tidak saja tergantung dari ketersediaan berbagai unsur hara dalam jumlah yang cukup, tetapi juga dari persyaratan lain seperti struktur tanah dan kondisi derajat keasaman tanah atau pH tanah. Pemupukan ikut mempengaruhi keadaan itu. Keadaan tanah yang baik akan memudahkan tanaman menyerap unsur hara yang ada didalam tanah melalui pertumbuhan akarnya yang lebih kuat, dibanding jika pertumbuhannya kurang baik. Dalam hal ini maka pemupukan dengan sendirinya akan memberikan hasil yang lebih baik.

Pemupukan dan Struktur Tanah
Menurut Kemas Ali Hanafiah (2005:69), struktur tanah merupakan kenampakan bentuk atau susunan partikel-partikel primer tanah (pasir, debu dan liat individual) hingga partikel-partikel sekunder (hubungan partikel-partikel primer yang disebut ped (gumpalan) yang membentuk agregat). De Boodt (1978) menyatakan bahwa struktur tanah berpengaruh terhadap gerakan air, gerakan udara, suhu tanah dan hambatan mekanik perkecambahan biji, serta penetrasi akar tanaman. Oleh sebab itu, tanah yang berstruktur baik akan mempunyai kondisi drainase dan aerasi yang baik pula, sehingga akan memudahkan sistem perakaran tanaman untuk berpenetrasi dan mengabsopsi hara dan air, sehingga pertumbuhan dan produksi menjadi lebih baik. Hal ini terbukti dari percobaan pemupukan untuk tanaman jagung, bahwa produksi jagung pada tanah tanpa pupuk tetapi beragregat baik ternyata 2,3 kali lebih besar dibandingkan dengan produksi pada tanah beragregat buruk yang diberi pupuk. Pada tanah yang digunakan untuk bercocok tanam, penaburan pupuk fosfat pada musim semi dapat mengakibatkan struktur tanah menjadi rusak karena fosfat di dalam tanah kurang bergerak, sehingga pemupukan menjadi kurang efektif.
Kerusakan struktur tanah diawali dengan penurunan kestabilan agregat tanah sebagai akibat dari pukulan air hujan dan kekuatan limpasan permukaan. Penurunan kestabilan agregat tanah berkaitan dengan penurunan kandungan bahan organik tanah, aktivitas perakaran dan mikroorganisme tanah. Penurunan ketiga agen pengikat tanah tersebut, selain menyebabkan agregat tanah relatif mudah pecah juga menyebabkan terbentuknya kerak di permukaan tanah (soil crusting) yang mempunyai sifat padat dan keras bila kering. Pada saat hujan turun, kerak yang terbentuk di permukaan tanah juga menyebabkan penyumbatan pori tanah. Akibat proses penyumbatan pori tanah ini, porositas tanah, distribusi pori tanah, dan kemampuan tanah untuk mengalirkan air mengalami penurunan dan limpasan permukaan akan meningkat (Suprayogo et al., 2001).
Firmansyah (2003) menyatakan bahwa penggunaan gambut terhumifikasi rendah dengan BD 0,10 Mg m-3 memilki pengaruh lebih besar daripada gambut terhumifikasi tinggi dengan BD 0,29 Mg m-3 dalam menurunkan kompaktibilitas tanah. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa bahan organik lebih efektif untuk tanah dengan kompaktilitas tinggi, ketahanan penetrsai maksimum tanah liat menurun dari 0,64 menjadi 0,30 Mpa, dan pada tanah berpasir meningkat dari 0,64 menjadi 1,08 Mpa.
Pemberian bahan tersebut dapat memperbaiki sifat fisik tanah berupa peningkatan total ruang pori, perbaikan aerasi tanah, pori air tersedia, permeabilitas tanah dan menurunnya ketahanan penetrasi. Pemberian dosis 20 Mg/ha dapat meningkatkan aerasi diatas 12%, sedangkan pada takaran 10 Mg/ha dapat memperbaiki ketahanan penetrasi (Firmansyah, 2003).

Pemupukan dan Derajat Keasaman Tanaman
Keasaman atau pH (Potential of hidrogen) adalah nilai pada skala 0-14 yang mengambarkan jumlah relatif ion H+ terdapat ion OH- didalam larutan tanah. Larutan tanah disebut bereaksi asam jika nilai pH berada pada kisaran 0-6, artinya larutan tanah  mengandung ion H+ lebih besar daripada ion OH- sebaliknya jika jumlah ion H+ dalam lautan tanah lebih kecil daripada ion OH- larutan tanah disebut bereaksi basa (alkali) atau miliki pH 8-14. Tanah bersifat asam karena berkurangnya kation kalsium, Magnesium, Kalium dan Natrium. Unsur-unsur tersebut terbawa oleh aliran air kelapisan tanah yang lebih bawah atau hilang diserap oleh tanaman (Hendra, 2008).
Keasaman atau kebasaan tanah bersumber dari sejumlah senyawa. Air adalah sumber kecil ion H karena disosiasi molekul H2O lemah. Sumber – sumber besar adalah asam – asam organik dan anorganik. Proses yang menghasilkan ion H+ adalah respirasi akar dan jasad penghuni tanah, perombakan bahan organik, pelarutan CO2 udara dalam lengas tanah, hidrolisis Al, nitrifikasi, oksidasi N2, oksidasi S, dan pelarutan, serta penguraian pupuk kimia. Sedangkan sumber – sumber kebasaan adalah garam–garam basa, amonifikasi, dan hasil batuan basa, ultrabasa.
Reaksi tanah mempengaruhi dekomposisi bahan organik melalui pengaruhnya terhadap ketersediaan hara-hara yang dibutuhkan mikrobia. Umumnya mikrobia berkembang dan aktif pada pH netral – alkalis (6,5 – 8,5) (Parr, 1978 dalam Kemas Ali, 2005:178), sedangkan proses mineralisasi dan nitrifikasi optimum pada pH sekitar 7,0 (Brady, 1984 dalam Kemas Ali, 2005:178). Menurut Kussow (1971), mikrobia ammonifikasi tidak begitu sensitif terhadap perubahan pH, sedangkan mikrobia nitrifikasi aktif pada pH 5-8. Pada pH dibawah 5, ammonium lebih banyak terakumulasi dalam tanah, sedangkan pada pH 7 ke atas terjadi reduksi menjadi gas ammoniak.
Menurut Kemas Ali Hanafiah (2005:178:179), pada pH tanah 5,5 – 7,5 bakteri berkembang lebih baik, sedangkan pada pH diatas 7 aktinomisetes yang lebih berkembang. Fungi kurang sensitif terhadap pH, dapat berkembang baik pada pH 3,5 – 5,5 dan diatas 7,5.
Menurut Kemas Ali Hanafiah (2005:159), untuk penanaman pada tanah yang pHnya tidak sesuai perlu dilakukan perbaikan pH untuk mencapai pH ideal. Pada tanah alkalin, penurunan pH dapat dilakukan dengan penambatan sulfur atau bahan bersulfur, agar sulfur yang dilapas membentuk asam sulfur pemasaman tanah, sedangkan pada tanah peningkatan pH dan sekaligus peningkatan kejenuhan basa dapat dilakukan dengan pengapuran. Kapur karbonat atau kalsit (CaCO3) (dipasar dukenal dengan ”Kaptan”), jika terhidrolisis akan menghasilkan iom hidroksil penaik pH dan kation Ca peningkat kejenuhan basa.
Secara umum pengapuran tanah itu sendiri betujuan untuk meningkatkan pH tanah dan kejenuhan basa, agar ketersediaan hara bagi tanaman meningkat dan potensi toksik dari unsur mikro (seperti Al) menjadi tertekan. sehingga, dengan membaiknya sifat kimiawi tanah, maka aktivitas mikrobia dalam penyediaan hara dan zat perangsang tumbuh juga membaik, sehingga secara akumulatif akan menghasilkan pertumbuhan dan produksi tanaman yang optimum (Kemas Ali, 2005:159:160).

Pemupukan dan Potensi Pengikat Tanah terhadap Unsur Hara Tanaman
Pemberian bahan organik, seperti pupuk kandang dan pupuk hijau pada tanah dapat meningkatkan ketersediaan P dan unsur lainnya. Hal tersebut terjadi karena saat dekomposisi bahan organik terjadi proses mineralisasi dari bahan organik yang mudah terurai, sehingga akan menyumbangkan sejumlah ion-ion hara tersedia. Selama proses dekomposisi, sejumlah hara tersedia akan diakumulasikan ke dalam sel-sel mikrobia, yang apabila mikrobia ini mati mudah dimineralisasikan kembali, sehingga menghindarkan ion-ion hara ini dari pelindian oleh aliran massa. Selain itu, senyawa sisa mineralisasi dan senyawa sulit terurai melalui proses humifikasi akan menghasilkan humus tanah yang terutama berperan secara koloidal. Koloidal organik ini melalui muatan listriknya dapat meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah 30 kali lebih besar ketimbang koloidal anorganik, sehingga menyebabkan ketersediaan basa-basa meningkat, dan melalui kemampuannya mencengkam koloid/mineral oksida bermuatan positif dan kation-kation terutama Al dan Fe yang reaktif, menyebabkan fiksasi P tanah menjadi ternetralisir. Serta adanya asam-asam organik hasil dekomposisi bahan organik yang mampu melarutkan P dan unsur lainnya dari pengikatnya, menghasilkan ketersediaan dan efisiensi pemupukan P dan hara lainnya (Stevenson, 1982 dalam Kemas Ali, 2005:180:181).
Pengaruh bahan organik terhadap tanah dan kemudian terhadap tanaman tergantung pada laju proses dekomposisinya. Namun, laju dekomposisi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor bahan organik dan faktor tanah. Faktor bahan organik meliputi komposisi kimiawi, perbandinga C/N, kadar lignin dan ukuran bahan, sedangkan faktor tanah meliputi temperatur, kelembaban, tekstur, struktur, suplai oksigen dan reaksi tanah, ketersediaan hara terutama N, P, K dan S (Parr, 1978 dalam Kemas Ali, 2005:176).
Jumlah bahan organik di dalam tanah dapat berkurang hingga 35% untuk tanah yang ditanami secara terus menerus dibandingkan dengan tanah yang belum ditanami atau belum dijamah. Untuk mempertahankan kandungan bahan organik tanah agar tidak menurun, diperlukan minimal 8 – 9 ton per ha bahan organik tiap tahunnya (Suryani, 2007).
Pada tanah berKB (kejenuhan basa) tinggi dan didominasi oleh koloid bermuatan permanen, pengapuran secara kimiawi akan meningkatkan pH dan kadar cadd, sedangkan secara biologis akan meningkatkan fiksasi N-bebas baik secara simbiotik maupun nonsimbiotik dan aktivitas mikroiologis lainnya. Namun, apabila pengapuran dilakukan secara berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif berupa penurunan ketersediaan Zn dan Mn, serta meningkatkan kelarutan Mo hingga ke tingkat toksik. Sedangkan pada tanah berKB rendah dan didominasi koloid bermuatan tak permanen, pengaruh positif pengapuran berupa peningkatan ketersediaan P, Cadd (kalsium dapat dipertukarkan), Mgdd (magnesium dapat dipertukarkan) dan aktivitas mikrobiologis, serta menonaktifkan Al dan Mn sehingga potensi toksisitasnya ternetralisasi. Namun apabila berlebihan, pengapuran dapat berdampak pada penurunan ketersediaan Zn, Mn, Cu dan B yang dapat menyebabkan tanaman menjadi defisiensi keempat unsur ini, serta dapat mengalami keracunan Mo (Kemas Ali, 2005:160:161).
Menurut Kemas Ali Hanafiah (2005:150), makin tinggi nilai KTA berarti makin tinggi daya fiksasi tanah terhadap anion, sehingga pemberian pupuk pelepasan anion seperti TSP (H2PO4-), amonium nitrat (NO3-) dan amonium sulfat (SO42-), makin tidak efisien karena makin tidak tersedia bagi tanaman. Akibat lainnya, dengan makin tingginya nilai KTA daya tolak terhadap kation-kation juga makin tinggi, pemupukan pupuk pelepas kation seperti KCL (K+), kalsit (Ca2+) dan dolomit (Ca2+ dan Mg2+) juga makin tidak efisien karena mudah tercuci/hilang dari tanah. Pemupukan fosfat (TSP) pada tanah berliat oksida menyebabkan sebagian besar hara-pupuk menjadi tidak tersedia bagi tanaman.
Kation-kation yang berbeda dapat mempunyai kemampuan yang berbeda untuk menukar kation yang dijerap. Jumlah yang dijerap sering tidak setara dengan yang ditukarkan. Ion-ion divalen biasanya diikat lebih kuat daripada ion-ion monovalen, sehingga akan lebih sulit dipertukarkan. Besar kecilnya Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah dipengaruhi oleh reaksi tanah, tekstur atau jumlah liat, jenis mineral liat, bahan organik, pengapuran serta pemupukan (Tan, 1991).

Menurut Sudirman et al. (1986) bahwa hilangnya lapisan atas tanah dapat menyebabkan rendahnya kadar bahan organik, meningkatnya pemadatan tanah, menurunnya stabilitas agregat tanah, meningkatnya kejenuhan alumunium serta menurunnya KTK tanah.


DAFTAR PUSTAKA

Edowart Sitorus, 2011. Pupuk dan Cara Pemupukan. . [Online]. Tersedia: http://edowartblogspotscom.blogspot.com/2011/09/pupuk-dan-cara-pemupukan.html[11 April 2013].

Mirsadiq, 2012. Tanah. [Online]. Tersedia: http://mirsadiq.wordpress.com/2012/09/12/tanah-soil/. [11 April 2013].

Hanafiah Kemas Ali, 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Syamsulhuda, 2011. Degradasi Tanah. [Online]. Tersedia: http://syamsulhuda-fst09.web.unair.ac.id/artikel_detail-40790-kuliah-DEGRADASI%20TANAH%20%20.html. [11 April 2013].

Sistematika dan Morfologi Daun Tuggal (Folium Simplex)


Daun Euporbia

      Daun ini merupakan daun yang tidak lengkap, yaitu daun bertangkai, karena bagian yang terdapat pada daun hanya helaian daun dan tangkai daun. Ujung daun ini terbelah (retursus), karena pada ujung daun terdapat belahan. Pangkal daun ini meruncing (acuminatus). Tulang daun yang terdapat pada daun ini, diantaranya ibu tulang daun (costa), cabang tulang (nervus lateralis) daun dan urat-urat daun (vena). Setiap daun pasti memiliki tulang daun, namun ada yang terlihat dan ada yang tidak terlihat, seperti pada daun ini urat-urat daunnya tidak begitu terlihat. Susunan tulang daun ini adalah daun bertulang menyirip (penninervis). Bentuk atau bangun daun pada daun Euporbia adalah bagian terlebar terdapat diatas tengah-tengah, sehingga termasuk bangun bulat telur terbalik. Daging daun ini, seperti perkamen (perkamenteus) yaitu tipis tetapi cukup kaku.


Daun Mangkok
      Daun ini merupakan daun yang tidak lengkap, yaitu daun bertangkai, karena bagian yang terdapat pada daun hanya helaian daun dan tangkai daun. Ujung pada daun ini meruncing (acuminatus). Pangkal daun ini berlekuk (emargirutus). Tulang daun yang terdapat pada daun ini, diantaranya ibu tulang daun (costa), cabang tulang (nervus lateralis) daun dan urat-urat daun (vena). Tulang daun pada daun ini dapat terlihat dengan jelas, tidak seperti pada daun Euporbia urat-urat daunnya tidak begitu jelas terlihat. Susunan tulang daun ini adalah daun bertulang menyirip (penninervis). Bentuk atau bangun daun pada daun Mangkok adalah Bagian terlebar terdapat dibawah, sehingga termasuk bangun ginjal. Daging daun ini, seperti kertas (papyraceus) yaitu tipis tetapi cukup tegar.


Daun ini merupakan daun lengkap karena memiliki upih daun , tangkai daun, dan helaian daun. ini berlekuk (emargirutus). Ujung daun ini runcing (acutus), karena bentuknya yang runcing. Pangkal daun ini runcing (acutus). Tulang daun yang terdapat pada daun ini, diantaranya ibu tulang daun (costa), cabang tulang (nervus lateralis) daun dan urat-urat daun (vena). Susunan tulang daun ini adalah daun bertulang sejajar atau lurus (rectinervis). Bentuk atau bangun daun pada daun ini adalah bagian terlebar berada ditengah-tengah, sehingga termasuk daun bangun lanset. Daging daun ini, seperti perkamen (perkamenteus) yaitu tipis tetapi cukup kaku.


Daun ini merupakan daun yang tidak lengkap, yaitu daun bertangkai, karena bagian yang terdapat pada daun hanya helaian daun dan tangkai daun. Ujung daun ini runcing (acutus), karena bentuknya yang runcing. Pangkal daun ini berlekuk (emargirutus). Tulang daun yang terdapat pada daun ini, diantaranya ibu tulang daun (costa), cabang tulang (nervus lateralis) daun dan urat-urat daun (vena). Susunan tulang daun ini adalah daun yang bertulang menjari (palminervis). Bentuk atau bangun daun pada daun Jarak adalah bagian terlebar terdapat ditengah-tengah, sehingga termasuk daun bentuk bulat. Daging daun ini, seperti perkamen (perkamenteus) yaitu tipis tetapi cukup kaku.


Daun ini merupakan daun yang tidak lengkap, yaitu daun bertangkai, karena bagian yang terdapat pada daun hanya helaian daun dan tangkai daun. Ujung daun ini runcing (acutus), karena bentuknya yang runcing. Pangkal daun ini runcing (acutus). Tulang daun yang terdapat pada daun ini, diantaranya ibu tulang daun (costa), cabang tulang (nervus lateralis) daun dan urat-urat daun (vena). Susunan tulang daun ini adalah daun bertulang menyirip (penninervis). Bentuk atau bangun daun pada daun ini adalah tidak ada bagian yang terlebar, sehingga termasuk bangun garis. Daging daun ini tipis lunak (herbaceus).

TRANSPIRASI PADA TUMBUHAN

HASIL PENGAMATAN
No
Perlakuan
Perubahan berat sampel setiap 25 menit (gram)
Berat seluruh daun (gram)
Berat sampel (gram)
Luas sampel
Berat awal
Berat I
Berat II
1
Di luar ruangan (A)
166,20
165,78
164,68
2,30
0,13

2
Di dalam ruangan (B)
168,88
168,38
168,08
1,24
0,09

3
Di dalam ruangan+di kipasi (C)
167,86
167,54
166,80
2,64
0,17

4
D (Kontrol )
165,90
165,54
165,22
2,06
0,14


AN       ANALISIS DATA 
Pada sampel A yang disimpan diluar ruangan memiliki berat awal 166,20 gram. Setelah didiamkan diluar ruangan pada 25 menit pertama beratnya berkurang sebanyak 0,42 gram menjadi 165,78 gram , kemudian setelah kembali didiamkan  25 menit selanjutnya beratnya kembali berkurang 1,1 gram. Total berat yang hilang selama 50 menit adalah 1,52 gram. Berkurangnya berat pada sampel A mengindikasikan adanya kehilangan air melalui peristiwa transpirasi yang terjadi pada 17 helai daun dengan berat daun secara keseluruhan 2,30 gram dan berat rata-rata per helaian daun 0,13 gram. Laju transpirasi menjadi lebih cepat karena adanya sinar matahari.
Pada sampel B yang disimpan didalam ruangan, pada awal penimbangan memiliki berat 168,88 gram. Pada 25 menit pertama setelah disimpan di dalam ruangan, berat sampel berkurang sebanyak 0,5 gram sehingga berat sampel menjadi 168,38, setelah 25 menit kedua berat sampel kembali berkurang sebanyak 0,3 gram gram. Kemudian sehingga berat akhirnya 168,08 gram. Total kehilangan berat yang terjadi pada sampel yang disimpan didalam ruangan selama 50 menit adalah sebanyak 0,8 gram. Transpirasi tersebut terjadi pada 14 helai daun dengan berat 1,24 gram dan berat rata-rata per daun 0,9 gram. Pada sampel B diketahui bahwa didalam ruangan pun proses transpirasi masih tetap terjadi walaupun dalam jumlah yang sangat kecil.
Sampel C yang disimpan didalam ruangan dan diberi perlakuan pengipasan, berat awal pada saat penimbangan adalah 167,86 gram. Pada dua puluh lima menit pertama terjadi kehilangan berat sebanyak 0,32 gram , sehingga beratnya menjadi 167,54 gram. Kemudian setelah 25 menit berikutnya beratnya kembali berkurang sebanyak 0,74 gram sehingga total kehilangan berat sebanyak 1,06. Berat daun secara keseluruhan adalah 2,64 gram (jumlah daun secara keseluruhan sebanyak 15 helai daun) dengan berat rata-rata per helai daun  sebanyak 0,17 gram. Dari data ini diketahui bahwa angina memiliki pengaruh pada laju transpirasi tumbuhan.
Pada sampel control yang disimpan di dalam ruangan dengan labu Erlenmeyer yang ditutupi oleh aluminium foil , awal penimbangan beratnya adalah 165,90 gram kemudian setelah disimpan selama 25 menit berat berkurang sebanyak 0,36 gram sehingga beratnya menjadi 165,54 gram. Pada 25 menit selanjutnya beratnya kembali berkurang sebanyak 0,32 gram dan berat akhir menjadi 165,22 gram. Total kehilangan berat yang terjadi pada sampel control akibat transpirasi adalah sebanyak 0,68 gram dari 14 helai daun dengan berat keseluruhan 2,06 dengan berat rata-rata per daun 0,14 gram.

PEMBAHASAN 
Transpirasi dapat diartikan sebagai proses kehilangan air dalam bentuk uap dari jaringan tumbuhan melalui stomata. Kemungkinan kehilangan  air  dari  jaringan lain dapat saja terjadi, tetapi porsi kehilangan tersebut sangat kecil dibandingkan dengan yang hilang melalui stomata. Oleh sebab itu, dalam perhitungan besarnya jumlah air yang hilang dari jaringan tanaman umumnya difokuskan pada air yang hilang melalui stomata.
Dwidjoseputro (1989), menyatakan bahwa transpirasi mempunyai arti penting bagi tanaman. Transpirasi pada dasarnya suatu penguapan air yang membawa garam-garam mineral dari dalam tanah. Transpirasi jiga bermanfaat di dalam hubungan penggunaan sinar matahari, kenaikan temperatur yang diterima tanaman digunakan untuk penguapan air.
   Transpirasi dibedakan menjadi tiga macam berdasarkan tempatnya, yaitu transpirasi kutikula, transpirasi lentikuler, transpirasi stomata. Hampir 97% air dari tanaman hilang melalui transpirasi stomata.
Proses transpirasi pada dasarnya sama dengan proses fisika yang terlibat dalam penguapan air dari permukaan bebas. Dinding mesofil basah yang dibatasi dengan ruang antar sel daun merupakan permukaan penguapan. Konsentrasi uap air dalam ruang antar sel biasanya lebih besar daripada udara luar. Manakala stomata terbuka, lebih banyak molekul air yang akan keluar dari daun melalui stomata dibandingkan dngan jumlah yang masuk per satuan waktu, dengan demikian tumbuhan tersebut akan kehilangan air.
Kegiatan transpirasi dipengaruhi banyak faktor, baik faktor dalam maupun luar. Faktor dalam antara lain besar kecilnya daun, tebal tipisnya daun, berlapis lilin atau tidaknya permukaan daun, banyak sedikitnya bulu pada permukaan daun, banyak sedikitnya stomata, bentuk dan letak stomata (Salisbury&Ross.1992) dan faktor luar antara lain:
1.      Kelembaban
Bila daun mempunyai kandungan air yang cukup dan stomata terbuka, maka laju transpirasi bergantung pada selisih antara konsentrasi molekul uap air di dalam rongga antar sel di daun dengan konsentrasi mulekul uap air di udara.
2.      Suhu
Kenaikan suhu dari 180 sampai 200 F cenderung untuk meningkatkan penguapan air sebesar dua kali. Dalam hal ini akan sangat mempengaruhi tekanan turgor daun dan secara otomatis mempengaruhi pembukaan stomata.
3.      Cahaya
Cahaya memepengaruhi laju transpirasi melalui dua cara pertama cahaya akan mempengaruhi suhu daun sehingga dapat mempengaruhi aktifitas transpirasi dan yang kedua dapat mempengaruhi transpirasi melalui pengaruhnya terhadap buka-tutupnya stomata.
4.      Angin
Angin mempunyai pengaruh ganda yang cenderung saling bertentangan terhadap laju transpirasi. Angin menyapu uap air hasil transpirasi sehingga angin menurunkan kelembanan udara diatas stomata, sehingga meningkatkan kehilangan neto air. Namun jika angin menyapu daun, maka akan mempengaruhi suhu daun. Suhu daun akan menurun dan hal ini dapat menurunkan tingkat transpirasi.
5.      Kandungan air tanah

Laju transpirasi dapat dipengaruhi oleh kandungan air tanah dan alju absorbsi air di akar. Pada siang hari biasanya air ditranspirasikan lebih cepat dari pada penyerapan dari tanah. Hal tersebut menyebabkan devisit air dalam daun sehingga terjadi penyerapan yang besar, pada malam hari terjadi sebaliknya. Jika kandungan air tanah menurun sebagai akibat penyerapan oleh akar, gerakan air melalui tanah ke dalam akar menjadi lambat. Hal ini cenderung untuk meningkatkan defisit air pada daun dan menurunkan laju transpirasi lebih lanjut (Loveless,1991).

KESIMPULAN
1.      Bahwa penguapan yang paling banyak terjadi pada perlakuan ( A ) yaitu pada tanaman yang di simpan di luar ruangan.
2.      Bahwa penguapan yang paling sedikit terjadi pada perlakuan ( B ) yaitu pada tanaman yang disimpan di dalam ruangan.
3.      Bahwa sinar matahari sangat berpengaruh terhadap proses transpirasi hal ini terbukti dengan besarnya selisih yang terjadi pada perlakuan A yang disimpan di luar ruangan berbeda cukup besar dengan jumlah selisih yang terjadi pada perlakuan B yang disimpan di dalam ruangan.
4.      Bahwa angin juga berpengaruh terhadap proses transpirasi yaitu terbukti dengan perlakuan C yang di simpan di dalam ruangan dengan  dikipasi. Jumlah selisih penguapannya juga bertambah sehingga lebih besar daripada perlakuan B yaitu tanaman yang hanya di simpan di dalam ruangan saja tanpa dikipasi.

DAFTAR PUSTAKA